Misi Domestik di Keuskupan Tanjung Selor

Keuskupan Bandung pernah menanggapi permohonan bantuan tenaga imam dari Keuskupan Tanjung Selor, khususnya untuk bertugas di Paroki Maria Bunda Karmel, Mansalong. Dalam tulisan ini kami sajikan kesaksian dari dua Pastor yang pernah mendapat perutusan misi domestik ke Paroki tersebut, yaitu RD. Agustinus Darwanto yang kini bertugas di Paroki St. Melania dan RD. F.X. Wahyu Tri Wibowo yang kini bertugas di Paroki St. Martinus. Berikut adalah kesaksian mereka.

Menjadi Imam Paket Lengkap (Romo Darwanto)

Perutusan saya ke Keuskupan Tanjung Selor cukup unik. Keuskupan Bandung sudah menyanggupi permohonan Keuskupan Tanjung Selor untuk mengirimkan tenaga imam untuk membantu karya pastoral di Keuskupan Tanjung selor, Kalimantan Timur (kini sudah menjadi Provinsi Kalimantan Utara). Namun tidak mudah untuk menunjuk tenaga imam karena di Keuskupan Bandung tenaga imam juga masih terbatas jumlahnya. Di dalam persiapan tahbisan imam, saya menyampaikan kepada Mgr. Pujasumarta dan kepada Vikjen bahwa saya tertarik dan bersedia untuk diutus ke Keuskupan Tanjung Selor. Jadi, keputusan saya untuk menjadi misionaris domestik itu saya ambil secara bebas dan sadar.

Persiapan menjalani tugas perutusan ke Tanjung Selor itu saya jalani selama 2 minggu (2 minggu menuju tahbisan). Hal yang saya lakukan ada dua hal. Pertama, saya bersama dengan teman angkatan (Romo Wahyu dan Romo Herry) dan Romo Didiek sebagai Vikjen pulang ke rumah saya untuk menyampaikan kabar ini kepada orangtua saya. Yang menyampaikan ke orangtua saya adalah Romo Didiek, saya sendiri waktu itu “belum siap” menyampaikan berita itu ke orangtua saya yang sudah sepuh. Dan saya gembira karena bapak dan ibu saya merestui saya untuk menjalani perutusan itu. Kedua, saya menyiapkan perbekalan yang penting dalam berpastoral di sana, yaitu: membeli pelampung badan, obat malaria, tas ransel untuk turne (tourney), dan sebagainya. Barang-barang ini menjadi simbol perutusan di saat pengumuman penempatan pada upacara tahbisan.

Jadi kalau ditanya kesan ketika mendapat tugas perutusan ke Keuskupan Tanjung Selor, saya gembira karena tempat perutusan ini adalah tempat pertama saya menjalani pelayanan pastoral saya sebagai imam. Saya juga bergembira karena saya bisa memenuhi harapan Keuskupan Bandung untuk memberikan tenaga imam ke Keuskupan Tanjung Selor yang pada saat itu baru memiliki tiga orang imam diosesan.

Keuskupan Bandung membantu Keuskupan Tanjung Selor tidak hanya sekedar mengirimkan tenaga imam tetapi juga memikirkan bagaimana mengusahakan kemandirian Paroki. Beberapa hal yang dipersiapkan untuk menuju kemandirian itu diantaranya; Pertama, dalam dunia pendidikan. Paroki Mansalong memfasilitasi anak-anak stasi untuk sekolah di pusat kecamatan. Maka, Paroki menyiapkan pendamping untuk asrama bagi anak-anak sekolah tingkat SMP dan SMA. Salah satunya membangun susteran di mana suster-suster menjadi pendamping asrama. Kedua, Paroki juga mengolah lahan untuk menjadi kebun karet. Harapannya, hasil dari kebun bisa mendukung kebutuhan untuk pastoral Paroki. Hal-hal yang fisik bukanlah yang utama, yang terpenting adalah bagaimana iman umat semakin dewasa.

Keuskupan Tanjung Selor adalah tempat yang sungguh-sungguh baru bagi saya. Saya tidak tahu tempat dan tidak kenal dengan siapapun di tempat ini. Pertama kali sampai di Tarakan, saya dijemput di bandara oleh Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF. “Romo selamat datang di Tarakan, malam ini romo menginap di Tarakan dan besok pagi melanjutkan menyeberang ke Pulau Kalimantan,” demikian kata penyambutan dari Bapak Uskup Tanjung Selor. “Wow, ternyata jauh banget ya,” itu komentar saya pertama dalam perjalanan ke tempat perutusan.

Setelah menginap semalam di Paroki Tarakan, paginya saya diantar ke pelabuhan Tengkayu. Perjalanan dilanjutkan dengan speed boat menyeberangi laut dan sungai selama 4 jam. Speed boat terakhir berhenti di Malinau. Saya dijemput beberapa umat di Malinau. Saya berpikir sudah sampai tempat tetapi perjalanan harus dilanjutkan lagi dengan perjalanan darat ke Mansalong. Perjalanan selama 1 jam. Setelah sampai di Paroki Maria Bunda Karmel, saya hanya meminta kepada umat untuk bekerja sama dalam berpastoral karena saya tidak tahu bahasa Dayak Agabag dan tidak kenal dengan siapa-siapa.

Pengalaman yang luar biasa dalam berpastoral adalah luas wilayah dan banyaknya stasi yang harus dilayani. Paroki Maria Bunda Karmel (MBK) Mansalong memiliki 24 stasi. Stasi yang paling jauh adalah stasi Tau Lumbis yang berbatasan dengan desa-desa di Malaysia (Bantul dan Saliliran). Stasi ini hanya bisa dijangkau dengan perahu selama 9 jam (saat air bagus dan harus menginap di perjalanan apabila air terlalu kecil atau terlalu besar). Dari 24 Stasi yang ada, hanya 4 stasi yang bisa dilalui dengan jalur darat. Jadi sekali perjalanan turne untuk pelayanan di stasi-stasi biasanya membutuhkan waktu 1 minggu. Setiap bulan biasanya melakukan 2-3 kali turne (1 kali ke wilayah hulu, 1 kali ke wilayah hilir, dan 1 kali di stasi-stasi yang ada di darat).

Menjadi imam di Paroki MBK Mansalong harus “paket lengkap”. Maksudnya, imam harus siap mencuci sendiri, menyetrika, menyapu dan membersihkan rumah pastoran, mempersiapkan gereja, masak, berkebun, dan memelihara ternak. Keuangan gereja sangat terbatas sehingga tidak akan mampu untuk menggaji karyawan. Sebagai gambaran besarnya kolekte setiap misa minggu, di pusat paroki biasanya sekitar 60 ribu-85 ribu; sedangkan di stasi-stasi sekitar 15 ribu-30 ribu. Biaya operasional untuk transportasi ke stasi-stasi cukup tinggi, biasanya untuk bensin perahu sekitar 400 liter per bulan.

Dalam kondisi yang demikian, hal yang membuat tetap gembira adalah semangat Gereja Kristus untuk tetap hadir, memberikan pelayanan, serta membangun persaudaraan sebagai umat beriman tetap terjaga dengan baik. Semangat untuk mewujudkan cinta kasih Gereja inilah yang akhirnya juga menjaga semangat umat dan para pelayan-Nya.

Dari pengalaman dua tahun di Mansalong, tantangan yang ada adalah berkaitan dengan adat-budaya dan bahasa. Masyarakat Dayak Agabag memiliki adat yang kuat di dalam kehidupan mereka. Adat itu mengikat mereka dalam berbagai fase kehidupan yang penting, seperti: perjodohan, perkawinan, dan kematian. Contoh kecil misalnya, membangun kesadaran untuk tidak menikahkan anak yang masih dibawah umur, memberikan pengertian kepada umat untuk mempersiapkan perkawinan secara sakramental dan tidak sekedar menikah secara adat, dan lain-lain.

Adat ini masih begitu kuat dan mengikat seluruh orang yang ada di wilayah adat Dayak Agabag. Saya pernah merasakan disidang adat. Peristiwanya adalah ketika ada anak-anak OMK dari Stasi tau Lumbis yang hendak pulang ke stasi tetapi mereka kehabisan bensin untuk perahu mereka. Mereka meminta bantuan ke pastoran dan saya beri bensin sebanyak 220 liter. Mereka tidak mau menerima gratis tetapi mereka akan membersihkan kebun karet pastoran sebagai ganti minyak. Dan masalah terjadi ketika salah satu dari OMK ini terjatuh dan meninggal di kebun. Para petinggi adat memanggil saya untuk sidang adat. Akhirnya saya harus membayar denda: 2 ekor sapi, 1 gong, peti mati, dan biaya pemakaman serta biaya pesta kematian selama 40 hari. Inilah adat yang sering memberatkan kehidupan masyarakat.

Tantangan yang kedua adalah bahasa. Sebagian besar umat di daerah pedalaman Mansalong tidak fasih berbahasa Indonesia. Mereka sehari-hari berelasi dan berkomunikasi menggunakan bahasa Agabag. Hal ini menjadi tantangan bagi Gereja dalam berkatekese. Berpastoral itu bukan hanya pelayanan sakramen tetapi juga tugas mendewasakan iman umat. Maka, katekese juga menjadi kebutuhan penting dalam pastoral Gereja.

Terkait kolegialitas dengan imam setempat dan imam di Keuskupan Bandung, selama di Mansalong, saya dikunjungi banyak romo diosesan dari Bandung. Yang masih saya ingat yang pernah mengunjungi saya: Romo Didiek, Romo Herry, Romo Bhanu, Romo Siswo, Romo Anton. Mereka datang dan membantu ketika Natal atau pekan suci. Kunjungan persaudaraan ini tentu menjadi sesuatu yang sangat meneguhkan. Sementara untuk relasi Unio antar keuskupan itu terjalin sebagai anggota Unio Indonesia.

Pandangan saya terkait dengan misi, entah itu domestik atau non domestik, esensinya sama. Menurut Konsili Vatikan II (AG) Seluruh Gereja atau Umat Allah selalu bersifat “misioner”. Maka, panggilan untuk menjadi misioner itu adalah panggilan dan tanggung jawab Gereja. Kita semua dipanggil untuk menjani tugas misi itu dimanapun kita berada. Kristus Tuhan dari antara murid-murid-Nya selalu memanggil mereka yang dikehendaki-Nya, untuk tinggal bersama dengan-Nya, dan untuk diutus mewartakan Injil kepada para bangsa (lih. Mrk 3: 13). Tuhan menumbuhkan panggilan misioner di hati masing-masing, menerima tugas mewartakan Injil, yang menjadi tanggungjawab seluruh Gereja, sebagai tugas mereka sendiri.

Yang perlu dikembangkan dalam semangat misi ini adalah kesadaran semua umat bahwa semua orang dipanggil untuk menjadi pewarta Injil Kristus dimanapun dan kapanpun. Semangat itulah yang mendasari Gereja Keuskupan Bandung untuk berbagii kasih dan perhatian kepada Keuskupan lain dengan bantuan tenaga pastoral ataupun bantuan dalam bentuk yang lainnya.

 

Pelajaran dalam Keterbatasan (Romo Wahyu)

Ketika mendapat perutusan ke Paroki Maria Bunda Karmel, Mansalong, saya merasa kaget sekaligus senang. Ada juga perasaan bimbang, tapi itu semua disambut dengan kerendahan hati dan ketaatan. Saat itu sukacita saya sedang memuncak dalam pelayanan di Paroki St. Paulus Bandung, khususnya dalam mengembangkan OMK di Stasi Fransiskus Xaverius (sekarang sudah menjadi Paroki). Saya sempat merenung beberapa waktu dengan meminta cuti untuk memohon restu kepada ibunda di Klaten, tempat asal saya. Kemudian, bersama Romo Darwanto yang telah lebih dulu mendapat tugas di Paroki Mansalong, saya berangkat ke Keuskupan Tanjung Selor.

Tugas perutusan ini saya rasakan mengalir secara apa adanya. Saya menemukan cara menggereja yang lain, seperti mengajarkan doa-doa dasar, karena umat Paroki Mansalong sangat sederhana. Selama satu bulan, saya beradaptasi dengan belajar dari apa yang ada di sana. Saya juga mulai betah menjalankan turne (tourney) setiap dua bulan sekali. Turne adalah kunjungan umat di stasi-stasi pelosok. Saya mengunjungi 24 stasi dengan menempuh perjalanan sungai berjeram bahkan melawan arus. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya bisa banyak berefleksi.

Selama tiga tahun (2011-2014), saya mencintai tugas perutusan dengan menambah beberapa kegiatan di Paroki Mansalong. Salah satunya adalah misi pengembangan perkebunan karet sebagai bentuk pemberdayaan umat setempat. Saya juga menjalin kemitraan dengan para imam, berusaha masuk ke dalam budaya setempat (budaya minum -red), dan menjadi teman seperjalanan umat serta OMK. Saya berusaha menyatukan diri dalam kolegialitas para imam setempat; dengan para imam diosesan Keuskupan Tanjung Selor, imam biarawan OMI, MSF, juga MSC. Salah satu tugas misioner adalah bersedia ditempatkan di keuskupanm manapun. Bagi saya, pengalaman pelayanan ini sungguh luar biasa dan bagus untuk menjadi sebuah pelajaran dalam keterbatasan.

Jejak karya misi yang telah saya tinggalkan, yaitu: membangun tiga gereja, memberdayakan OMK sebagai masa kini dan masa depan Gereja, serta pengembangan perkebunan karet. Gereja pertama adalah Stasi Lokasi, melanjutkan karya misi yang sebelumnya telah dibangun (sekitar 25%). Kedua, Stasi Tanjung Harapan, dengan dana yang terbatas mampu membangun gereja yang awalnya beratapkan terpal menjadi gereja yang kokoh berbeton. Ketiga, Stasi Lumbis; sebuah upaya yang tak terlupakan karena perjalanan pengiriman bahan baku menuju gereja tersebut harus ditempuh dengan melawan jeram, sambil membawa kayu, semen, serta bahan bangunan lainnya. Umat Keuskupan Bandung pun mengulurkan bantuan untuk pembangunan stasi tersebut.

Bagi saya, karya misi domestik menjadi tanggung jawabnya sebagai imam dalam Gereja lokal (Keuskupan Bandung). Karya Misi keluar Keuskupan berarti membantu karya pastoral di luar Gereja lokal.***


Edy Suryatno, Fr. Moses William Yuwono