Tuhan Hadir dalam Keheningan

Keheningan ada di mana-mana, sekaligus tidak selalu dialami. Adakah keheningan di pasar? Di stasiun kereta api? Di jalan raya? Ada, di semua tempat. Namun tetap saja, kita tidak selalu bisa mengalaminya. Thomas Merton, OCSO (1915-1968) pernah menulis sebuah doa: “Tuhan, Engkau mencipta jiwaku untuk kedamaian dan keheningan-Mu, dan jiwaku terluka oleh kebingungan, oleh kebisingan dosa dan hasratku." Ada sesuatu yang menghambat kita mengalami keheningan, padahal Tuhan menciptakan kita di dalamnya.

Keheningan tidak bisa Dikejar

Mungkin keheningan bukan hanya soal tiadanya bunyi dan suara. Bahkan, ketika seseorang sedang merenung sendirian dalam retret, banyak pemikiran bisa bergemuruh di dalam hatinya. Di luar hening, tetapi di dalam bising. Dalam Injil dicatat bagaimana Yesus berdoa seorang diri (Luk. 9:18), semalam-malaman (Luk. 6:12), di bukit Zaitun (Yoh. 8:1), pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, di tempat yang sunyi (Mrk. 1:35, Luk. 4:42). Yesus setiap kali berdoa kepada Bapa, menandakan relasi-Nya dengan Bapa yang hadir di dalam keheningan. Ketimbang sekadar kebiasaan, apa yang dilakukan Yesus ini adalah ungkapan relasi-Nya dengan Bapa yang terjadi setiap saat. Kita bisa menangkap bahwa keheningan bukanlah sekadar suasana yang sepi, melainkan merupakan ‘bahasa’ kehadiran Allah. Dalam sejarah spiritualitas kristiani, pernah muncul pembedaan antara kesepian dan keheningan. Pengalaman sepi muncul karena kesendirian dan hilangnya dukungan dari semua orang, sedangkan pengalaman hening bersifat rohani karena seseorang mengalami penyertaan Tuhan.

Keheningan dalam arti rohani ini lebih positif dan sejalan dengan dinamika kehidupan beriman. Pemaknaan keheningan dalam spiritualitas kristiani diletakkan dalam kerangka pengalaman, lebih daripada perasaan. Dan kalau keheningan dipandang sebagai suatu pengalaman rohani, hal itu tidak bisa kita kejar. Gereja pernah menghadirkan tokoh-tokoh spiritualitas yang membuat latihan rohani, agar orang bertumbuh dalam kerohanian. Akan tetapi, pengertian ‘latihan’ bisa jadi ditangkap sebagai upaya manusiawi. Sementara itu, keheningan sebagai kehadiran Tuhan secara rohani tidak bisa diusahakan. Pengalaman itu lebih merupakan rahmat, suatu pemberian Tuhan. Ketika menatang kanak Yesus di Bait Allah, Simeon rela jika Allah mengambil hidupnya, sebab Ia telah melihat keselamatan yang daripada-Nya (Luk. 2:29-30). Pengalaman kehadiran Tuhan adalah sebuah pengalaman rahmat.

Karena Tuhan hadir di mana-mana, dan bukan hanya di gereja atau di tempat-tempat ziarah, keheningan sebagai pengalaman kehadiran Tuhan pun bisa terjadi di mana-mana. Pengalaman ini akan ditentukan oleh kedekatan relasi seseorang dengan Tuhan, ketika berada di manapun dan ketika mengerjakan apapun. Pengalaman rohani seperti ini, dalam terang pandangan teolog J.-L. Marion, digambarkan sebagai suatu peristiwa yang melanda diri kita. Kita tidak bisa memahami dengan akal atau membahasakannya, selain bahwa hal itu terjadi dan menyergap seluruh diri kita. Mungkin berbagai kesadaran, penyesalan, rasa syukur, penghiburan, dan pertobatan bisa terjadi bersamaan pada saat itu, dan dapat menggerakkan kita untuk bertindak seturut kehendak Tuhan.

Pernah ada cerita beberapa orang dari kalangan kaum religius mengenai bagaimana di dalam retret mereka sulit untuk masuk ke dalam keheningan doa. Setiap kali berusaha mengesampingkan pemikiran-pemikiran yang muncul, justru mereka semakin merasa lelah dan tidak mengalami keheningan. Cerita pengalaman semacam ini menunjukkan pula bahwa keheningan bukanlah sesuatu yang bisa kejar dan kita capai sendiri.

Menjaga Sikap Batin

Dunia kita dibanjiri dengan berbagai suara, kata-kata, kebisingan, gambar-gambar, dan tulisan. Ke manapun kita bergerak, semua itu menerpa panca indra kita dan dengan mudah mengalihkan perhatian. Sebagian orang mencoba mencari tempat-tempat yang sunyi untuk menemukan keheningan, tetapi kini tempat-tempat seperti itu semakin sulit dijumpai. Pertanyaannya: Apakah keheningan sudah tidak mungkin kita alami lagi di dalam keseharian? Sesungguhnya, masih bisa kita alami. Belajar pada bagaimana Yesus berkeliling dan melayani banyak orang, kita bisa memperoleh rahmat keheningan apabila menjaga relasi dengan Allah. Relasi itu pada dasarnya adalah doa, tetapi doa yang kini dipandang sebagai suatu sikap batin. Kita bisa mengambil sikap doa, kendati mungkin sedang bekerja atau mengikuti kegiatan bersama orang lain. Dahulu semboyan “ora et labora” dihayati para biarawan Benediktin, sebab St. Benediktus telah menekankan supaya berdoa dan bekerja berjalan beriringan dalam keseharian.

Paus Fransiskus mengundang kita untuk menghayati tahun 2024 ini sebagai Tahun Doa, yang akan mengantar menuju tahun yubileum 2025. Di awal penggembalaannya sebagai pemimpin Gereja sedunia, Paus Fransiskus pernah menyampaikan dalam homili misa harian bahwa doa “membuka pintu bagi Tuhan sehingga Ia akan datang”. Doa, dalam arti ini, ialah suatu sikap batin yang mendahului kata-kata yang kita ucapkan. Sikap doa hanya bisa kita hayati apabila kita terus-menerus menyadari relasi kita dengan Tuhan. Dengan kata lain, kita menyadari kehadiran Tuhan dan kita membuka pintu bagi-Nya. Doa sebagai sikap batin yang sadar bahwa Tuhan hadir bisa kita jaga dalam segala situasi, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Kalau selama ini dorongan untuk berdoa hanya muncul pada saat-saat terdesak dan paling sulit, kini kecenderungan itu perlu diperbaiki. Sikap doa mestinya kita hayati setiap saat, apalagi ketika berhadapan dengan berbagai kebisingan yang sehari-hari di dunia ini. Sikap doa tidak membutuhkan kata-kata atau ungkapan fisik, tidak harus juga dilakukan di tempat-tempat tertentu. Sebagai sikap, berdoa adalah bagian dari spiritualitas keheningan yang berakar di dalam pengalaman.

Jadi, kita pun bisa berdoa tanpa kata-kata manakala sedang sibuk bekerja atau melayani. Sikap iman seperti ini menyadari dan menghormati kehadiran Tuhan di mana-mana, berharap bahwa Tuhan akan bertindak segera ketika kita menghadapi masalah dan kesulitan, serta percaya bahwa Ia setia melindungi dan menjaga siapapun yang beriman kepada-Nya.

Keseharian yang Berbeda

Kebingungan dan kebisingan batin membuat kita sulit atau tidak mengalami keheningan kehadiran Tuhan. Seperti dikatakan Thomas Merton, kebingungan itu disebabkan oleh dosa dan hasrat pribadi kita. Keadaan itu seperti perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang seseorang yang menimbun harta untuk dirinya sendiri (Luk. 12:16-21). Orang itu bahkan berbicara dengan jiwanya sendiri dengan memakai pembenaran dan pemikirannya: ”Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanla, minumlah dan bersenang-senanglah!” Kehidupan sehari-hari yang dijalani tanpa sikap doa akan menutup pengalaman keheningan yang adalah pemberian Tuhan.

Sikap doa dapat dibiasakan dalam keseharian hidup umat kristiani. Namun, sikap ini dihayati bukan pertama-tama sebagai suatu ‘latihan’, melainkan sebagai cara hidup dan cara pandang yang menyertai profesi dan panggilan hidup kita masing-masing. Dengannya, kita bisa memandang dan menghadapi setiap kejadian dengan cara berbeda, yakni dengan kesadaran bahwa Tuhan hadir di sini dan saat ini. Suatu saat kita mungkin akan terkejut menyadari bahwa Tuhan ternyata sudah menunjukkan jalan di tengah berbagai masalah dan kesulitan yang kita alami. Apabila kita dengan rendah hati mau membuka pintu, Tuhan akan datang dan bertindak. Dan itulah keheningan, yakni saat Tuhan sendiri bertindak, sebab bukan kehendak kita, melainkan kehendak-Nya saja yang terjadi!


RP. Dr. Hadrianus Tedjoworo, OSC, S.Ag., STL. adalah dosen teologi dogmatik dan filsafat di Fakultas Filsafat, UNPAR, lulusan Katholieke Universiteit Leuven (KUL) Belgia dan Radboud Universiteit Nijmegen (RUN) Belanda. Saat ini tinggal di Priorat Salib Suci Jl. Pandu, Bandung, memberi renungan harian “Embun Pagi” di kanal YouTube “Spirit Krosier” dan mengadakan doa meditatif dengan nyanyian dari Taizé pada Sabtu terakhir setiap bulan di Kampus FF, Jl. Nias, Bandung.