Hening itu Berarti Berdamai

Jika mengambarkan keheningan maka yang terlintas dalam pemikiran adalah suasana yang sunyi, tempat yang dingin dan terpencil. Kebanyakan orang menggambarkan keheningan itu sama dengan kesunyian, padahal itu adalah yal yang berbeda. Keheningan itu bukan berarti kesunyian, tak ada bunyi! Walaupun kesunyian itu dapat dijadikan sebagai sarana sampai pada keheningan. Keheningan itu bukan terutama soal luaran tetapi soal kedalaman batin. Batin yang hening itu, pertama-tama mengatakan ”ya” pada diri sendiri dan tak ada konflik. Jika kita dengan diri sendiri damai, at home, merasa nyaman, maka terjadi kesatuan dengan diri sendiri (unity -tidak terpecah-pecah-). Demikian pemahaman awal tentang keheningan yang diberikan Pastor Rudiyanto Subagio, OSC dalam jumpa sharing dengan Redaksi Komunikasi.

Hening: Berdamai dengan Diri Sendiri, Orang Lain dan Alam Ciptaan

Pastor Rudy yang saat ini tinggal di Biara Pratista, Bandung ini menyampaikan refleksinya bahwa hal pertama yang perlu dipahami untuk masuk dalam keheningan itu dimulai dari berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri itu bukan berarti perasaan senang atau tertawa. Dalam penderitaan kita pun merasakan damai. Jika kita menerima, maka kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Jika kita mampu bersatu dengan diri sendiri, maka kita akan masuk dalam keheningan itu. Hal kedua untuk masuk dalam keheningan, berdamai dengan orang lain. Manusia hidup selalu berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksi dan hidup berdampingan itu, manusia seringkali mengalami konflik. Konflik bukanlah sebuah masalah, manusia perlu menerima hal itu. Orang lain tak selamanya memberi rasa aman terhadap hidup kita, tetapi kita harus menerimanya. Untuk itu, kita perlu menerima diri sendiri. Dengan menerima diri sendiri, kita berdamai yang akan mengantar kita menerima dan berdamai dengan orang lain, selanjutnya memberikan rasa aman. Jika hal tersebut terjadi, maka dengan sendirinya keheningan itu tercipta.

Hal paling penting lainnya agar masuk dalam keheningan, yaitu bersatu dengan alam. Pada zaman sekarang ini, kita perlu bersatu dengan alam. Alam yang dimaksud dalam arti yang luas. Pertama, pemahaman tentang alam ciptaan. Manusia dan alam diciptakan Tuhan. Jika kita menganggap bahwa alam ciptaan sebagai ancaman, maka kita tak pernah merasakan damai. Kita perlu mengenal alam agar hidup kita merasakan damai. Sebagai contoh: ada jenis rumput yang membuat gatal. Jika kita mendekat, maka akan merasakan gatal itu. Kita tak mengenal jenis rumput itu, yang berakibat gatal di tubuh kita, karena secara tak sadar kita telah menolak rumput itu. Jika kita mengenalnya, maka kita akan menghindar dan mengenali bahwa rumput itu membahayakan kita. Hal mengetahui itu menjadi sumber keheningan. Ketika kita tahu bahwa rumput itu membuat gatal, kita akan menghindarinya. Kita membiarkan rumput itu hidup dengan dunianya sendiri, demikian pula diri kita.

Hening: Menyatukan Diri dengan Kesibukan 

Dalam konteks alam, ada pula konteks ruang dan waktu. Bagaimana ketersediaan waktu seseorang untuk menyediakan waktu luang. Manusia zaman modern lebih dominan hidup dalam kesibukan. Dalam kesibukan itu, manusia mampu masuk dalam keheningan. Jika orang itu bersatu dalam kesibukan, maka manusia itu akan masuk dalam keheningan. Sebagai contoh bagi orang yang suka menulis artikel. Ketika ia bersatu dengan tulisannya, ia akan merasakan keheningan. Ketika ia bersatu dengan aktivitasnya, ia merasa tak terganggu oleh segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal inilah yang dengan aktif kontemplatif. Aktif kontemplatif itu, berkontemplasi dalam aksi. Contoh lainnya, para petani yang bekerja di sawah. Petani itu memacul sawahnya dengan tak kenal lelah. Punggungnya tak pernah terasa lelah, karena ia menyatu dengan dirinya dan menikmati pekerjaannya. Itulah hening.

Keheningan yang sesungguhnya dapat kita temukan dengan menyadari hidup dalam konteks ruang dan waktu. Dimensi ruang dan waktu zaman sekarang ini dipenuhi hal yang serba digital. Hal itu sudah terjadi masif, mau tak mau hal itu sudah terjadi dalam hidup kita. Banyak orang menganggap bahwa perkembangan teknologi itu memberikan ancaman bagi manusia. Padahal anggapan itu tak selamanya demikian. Jika kita mampu menyatu dengan dunia digital, maka teknologi itu tak menjadi berhala. Kita tak memuja teknologi, melainkan memanfaatkan teknologi itu sebagai instrumen dan kita pun masuk dalam keheningan.

Hening : Bersatu dalam Keberagaman

Pada kenyataannya, kita tidak hidup sendiri dan selalu berdampingan dengan orang lain. Keheningan dapat dicapai dengan keterbukaan. Tebuka bukan hanya pada permukaan saja, terbuka lahir dan batin. Kita terbuka terhadap kebinekaan (perbedaan). Kita sadar bahwa perbedaan itu berpotensi konflik. Kita mungkin saja terluka, terluka itu merupakan sebuah risiko. Saat kita menerima itu bukan hanya dalam satu lapisan saja. Kualitas penerimaan pun harus diperhatikan. Sebagai contoh, seorang ibu harus menerima anaknya. Ia tahu bahwa anaknya baik dan dia tahu bahwa anaknya itu jahat. Ia tak membunuh anaknya itu. Ia justru menerima segala kelemahan dan kelebihan dari anaknya tersebut.

Bagaikan kisah anak yang hilang. Bapak bersedia menerima anak bungsu, tetapi anak yang sulung tidak dapat menerimanya. Bapaknya masuk dalam keheningan, tetapi si sulung tidak dapat masuk dalam keheningan. Si sulung terpengaruh oleh banyaknya pikiran. Masih dalam konteks penerimaan ini, Maria dalam Kitab Suci digambarkan sebagai ”orang yang selalu menyimpan dalam hati segala persoalan yang dialaminya.” Maria mengetahui bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya itu berpotensi konflik, tetapi dalam keheningannya ia bisa menerima. Hal itu tidaklah mudah. Maria bersatu dengan penderitaan dan tidak dibunuh oleh penderitaan. Kata Simeon, ”Maria akan ditusuk tujuh pedang, tetapi tidak mati.” Kita masuk ke kedalaman agar masuk dalam keheningan.

Penerimaan akan mengantar pada kesatuan keheningan. Muara dari keheningan ini adalah rasa syukur. Jika kita melihat segala sesuatu bersatu, maka bermuara pada ungkapan syukur. Sebagai contoh, ”Saat saya duduk di Alun-alun untuk melihat orang banyak, lama kelamaan kita larut dalam keramaian itu, lalu diri saya akan merasa senang.” Itulah hening.

Kisah lainnya, saat duduk di gereja Katedral, tetapi kita tidak lagi mendengar sura kereta api yang terus menerus melintas. Hal ini bukan soal suara, melainkan saat masuk dalam keheningan kita tidak merasakan sebagai gangguan. Keheningan itu dapat sungguh dirasakan dalam pengalaman hidup setiap hari. Keheningan bukan hanya dalam gereja, bukan hanya milik kaum religius, tetapi semua orang dapat merasakannya.

Keheningan sebagai Sumber Kekuatan Berpastoral

Pastoral yang baik didasarkan dari suatu keheningan. Paus Fransiskus dalam menjalankan tugas kegembalaannya dengan mengutamakan tindakan pastoral. Hal ini terjadi karena hatinya penuh dengan keheningan. Sebab tanpa keheningan orang tidak mampu berpastoral dengan baik. Untuk itu, sangat diperlukan ruang dan waktu khusus agar masuk dalam keheningan. Dalam keheningan, kita akan mendengarkan ”suara keheningan” itu, karena keheningan itu bersuara. Apakah kita mampu menangkap suara itu? Seperti halnya Kisah Musa dengan semak duri api (Kel 3:2-6). Hal yang membuat orang tergetar (menakutkan, -takut akan Tuhan-), tetapi sekaligus juga memesona. Hal yang menakutkan, tetapi memesona (tremendum et fascinosum). Keheningan itu seperti yang telah dijelaskan di atas. Suaranya bukan seperti bunyi, di dalam keheningan kita mendengar. Seperti kisah Samuel yang dipanggil Allah, ia mendengar, tetapi tidak mendengarkan. Ia belum mengenal suara Allah. Saat ia mulai masuk dalam keheningan, pada panggilan ketiga, Eli meminta Samuel menjawab, ”Bersabdalah ya, Tuhan, hamba-Mu mendengarkan” (1 Sam 3:10) Inilah proses untuk masuk dalam keheningan, sebuah proses mengenal Allah. ***


Fr. Adrian OSC, Edy Suryatno