Keheningan : Membina Relasi dengan Tuhan

Keheningan itu bukan sama persis dengan kesunyian seperti yang dipersepsikan orang. Untuk mencipyakan keheningan orang tidak harus mencari tempat terpencil, yang sunyi. Keheningan itu adalah batin sifatnya, yang bisa dicapai dimana pun dalam situasi apapun, sunyi atau ramai. Keheningan tidak hanya tercipta di dalam Biara atau pertapaan tetapi juga bisa diciptakan dalam keseharian, kesibukan dan hidup rumah tangga. Berikut suatu sharingtentang keheningan dibagikan Sr. Yoanita Pauline, OCD, anggota Biara Pertapaan Karmel Lembang, Bandung.


Hening : melihat diri dan relasi dengan Tuhan

Berbagi refleksi tentang keheningan, pertama-tama Suster Pauline menggambarkan kondisi di biara, dimana ia tinggal. Apakah dalam biara itu sunyi? Tidak, karena di sekitar biara ini ada tetangga mesjid dan tempat parkir atau rest area yang sepanjang hari ada aktivitas keramaian. Di dalam biara pun saat ini tidak sunyi, tetapi ada keheningan, yaitu keheningan jiwa yang dialami para Suster. Kalau mengandalkan atau mengharapkan kesunyian maka para suster juga tidak akan mendapat keheningan. Artinya kesunyian itu bukan keheningan, tetapi kesunyian sebagai faktor mencapai keheningan. Jadi keheningan yang dijalani oleh para suster adalah keheningan batin. Kebeningan batin ini bukan milik biarawan atau hanya bisa dicapai oleh kaum biarawan saja, tetapi juga bisa dialami oleh semua orang. Semua orang bisa melihat pribadinya dan relasi dengan Tuhan melalui keheningan.

Orang yang biasa sibuk dengan segala aktivitas dan tidak mencoba untuk mengalami keheningan, dia tidak akan bertemu dengan dirinya, bertemu Tuhan dan tidak menemukan jalan. Setiap orang perlu untuk menyediakan waktu khusus, memberikan dirinya dibimbing Tuhan. Kita ini memiliki waktu 24 jam dan paling tidak semperempat jam saja dikhususkan untuk hening, untuk berdoa. Tetapi doa yang bukan berkata-kata terus, menyampaikan laporan-laporan tetapi doa yang berupa komunikasi, yaitu saya mendengarkan Tuhan, bukan melulu Tuhan yang selalu harus mendengarkan saya. Maka doa hening itu adalah duduk diam, mendengarkan, menyadari kehadiran Tuhan.

Keheningan itu bisa diciptakan di dalam kehidupan rumah tangga, sehingga orang tidak harus selalu mengupayakan tempat khusus yang sunyi, sepi, jauh dari keramaian. Suami istri bisa mencoba untuk hadir bersama, duduk bersebelahan, tidak usah berkata-kata, tetapi hadir diam, maka di sana terjadi kesatuan dua jiwa di antara mereka. Dalam konteks hening ini, suatu perjumpaan tidaklah harus selalu disertai dengan kata-kata atau obrolan. Artinya, keheningan itu bisa kita alami bahkan di tempat ramai atau kesibukan hidup; yang terpenting adalah bagaimana kita fokus, mau melatih terus-menerus.


Membina Keheningan

Terkait dengan membina keheningan, Sr. Pauline memberi cara agar kita yang memiliki 24jam waktu ini unruk menyediakan paling tidak seperempat jam saja, untuk mencoba diam, hening, secara rutin, misalnya setelah bekerja atau malam menjelang istirahat. Beberapa pendukung memang kadang diperlukan seperti tempat atau ruangan dalam keluarga yang kita khususkan untuk berdoa, bilik kecil atau kamar yang terpasang lilin, salib dan benda-benda sarana doa. Bagi suster- suster di Karmel ini, kamar itu bukan hanya untuk tidur, tapi menjadi tempat untuk selalu bertemu dengan Tuhan. Ada meja kecil di sudut ruangan yang mereka jadikan altar untuk berdoa, hening, membaca Kitab Suci, bacaan rohani spiritualitas St. Theresia. Kita juga bisa menjadikan kamar kita seperti itu, dipasang meja, taplak, lilin, salib; sehingga saat kita melihat itu, kita merasa diingatkan dan terdorong untuk berdoa, mengheningkan hidup sejenak.

Jika kita benar-benar kesulitan dengan waktu dan tempat khusus tersebut, bahkan menurut Suster, kita bisa mengarahkan kerja atau kesibukan sebagai doa, kita bisa bekerja sambil berdoa, yaitu selalu mengarahkan kesadaran akan Tuhan sementara kita melakukan kesibukan. Tetapi bukan berdoa sambil bekerja, karena nanti kalau terlalu asik bekerja maka kita lupakan doanya. Sr. Pauline menceritakan keteladaan St. Theresia Lesiux, bahwa semua pekerjaannya itu ia persembahkan pada Tuhan. Pekerjaan atau aktivitas sekecil apapun dilakukan Theresia, itu diarahkannya pada cinta kepada Tuhan dan diperuntukkan bagi keselamatan jiwa-jiwa. Entah kepada jiwa siapa doa itu tertuju, Theresia percaya Tuhan yang akan menentukan, memilih jiwa-jiwa tersebut. Maka Theresia ini adalah teladan pribadi yang hening, teladan bagi orang yang sungguh mencintai Tuhan semata-mata.


Intensitas relasi dengan Tuhan

Berdoa dan keheningan batin menyangkut intensitas bagaimana kita berelasi dengan Tuhan. Keramaian atau kesibukan orang-orang di sekitar kita tidak menjadi halangan untuk kita masuk dalam batin. Belum lagi soal prestise atau niat berdoa supaya dilihat orang, diketahui orang. Disadari atau tidak, kadang kita berdoa atau pergi misa supaya orang tahu kita sudah melakukannya. Rupanya niat ini tidak akan membawa pada keheningan dan intensitas relasi dengan Tuhan tersebut. Berdoa itu seperti halnya makan. Kita makan dengan tujuan agar kenyang, tetapi ada orang yang ketika makan ingin menunjukkan orang lain, makan apa, makan di mana, bersama siapa. Yang lain lagi, ada orang yang berdoa ketika ia sedang mengalami masalah, kesulitan, tetapi ketika masalah sudah hilang, dan dia sedang bahagia ia segera “lupa” Tuhan. Sekali lagi berdoa dan hening itu adalah soal intensitas relasi kita kepada Tuhan saja. Diketahui orang atau sedih dan senang kita saat ini bukan menjadi pertimbangan dalam intensitas relasi dengan Tuhan ini.

“Pada saat saya mengalami suatu masalah, saluran air di biara, seolah habis pikir untuk solusinya, dalam doa batin, saya berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Kemudian ada saja solusi yang diberikan Tuhan untuk masalah ini baik lewat sesama suster bahkan oleh masyarakat sekitar.” Sr. Pauline mau menegaskan bahwa usaha dan pemikiran itu perlu dilakukan, tetapi mengandalkan Tuhan juga lebih perlu. Belum tentu segala sesuatu itu beres dengan usaha kita, sehingga di saat seperti ini kita memerlukan campur tangan Tuhan. Suster merasa Tuhan akan membawa hidupnya lewat jalanNya. Sehingga bagaimana mungkin kita bisa melihat jalan dan kehendak Tuhan ini kalau kita tidak hening.

Seringkali kita berdoa, mohon sesuatu tetapi merasa tidak dikabulkan. Menurut suster Tuhan bukan tidak mengabulkan doa itu, tetapi memberikan jalan menurut kuasa atau kehendakNya justru hal yang lebih tepat bagi kita. Kehendak Allah itu tidak selalu eksplisit kita temui. Misalnya kita sedang sakit, dari sakit itu kita mendapatkan berbagai hal dan belum tentu itu suatu kesembuhan seperti yang kita harapkan. Keputusan kita untuk megatakan “Yesus aku mencintaimu” akan memampukan kita untuk menjalani sakit dan penderitaan. “Lalu apakah Tuhan menghendaki kita sakit, menderita? Itu bukan urusan kita. Tetapi pada saat kita menghadapi dan menjadikan penderitaan ini bersama Tuhan, itulah urusan kita. Maksudnya janganlah kita terlalu besar pemikiran bahwa sakit ini kehendak Tuhan, tetapi agar lebih bisa merasakan bahwa dalam penderitaan aku menjalani bersama Tuhan,” demikian mendalam diungkapkan Suster tentang kehendak Tuhan.


Hening : berdoa untuk jiwa-jiwa

Kemudian untuk siapa mereka berdoa, hening sepanjang waktu, Sr. Pauline mensharingkan, dengan meneladan St. Theresia para suster Karmel berdoa dalam iman. Mereka melambungkan doa terus menerus yang tidak tertuju pada titik atau orang tertentu, meskipun ada saja satu dua umat yang minta didoakan. Sebagai pekerja, seseorang akan bahagia jika pekerjaannya berhasil, dokter dengan kesembuhan pasiennya, arsitek dengan kokoh dan megah bangunannya. Lain halnya dengan para suster ini, mereka berkarya doa tidak tahu untuk siapa doa itu ditujukan, mereka percaya Tuhan yang mengaturnya. Jika tadi dikatakan berdoa untuk jiwa-jiwa, tetapi jiwa siapa, hanya Tuhan pula yang mengarahkannya.

Sebagai penutup Suster menganalogikan doa sebagai berikut : “Kita sama-sama menyapu, ada empat kategori. Yang satu, dia menyapu sambil ngomel, “nyapu lagi kotor lagi!”. Kedua, dia nyapu ya nyapu saja, karna dia memang tukang sapu dan mendapat bayaran ketika menyapunya bersih. Ketiga, dia menyapu dengan diam, misalnya agar suami dan anak-anaknya merasa senang rumah mereka bersih. Keempat, kalau St. Theresia yang nyapu, setiap ayunan sapunya yang dilakukan, ia mengarahkan untuk keselamatan jiwa-jiwa. Seperti tanda cinta yang dipersembahkan kepada Tuhan.” Untuk memahami makna tindakan yang sedalam dialami St. Teseria ini menurut Sr. Pauline hanya bisa dicapai kalau orang itu hening. ***

deBritto