Makna Kehidupan dalam Kehancuran

“Sekarang ini kehancuran semakin tinggi intensitasnya karena kreativitas manusia. Kreativitas bidang teknologi lah yang makin tinggi dan cepat merusak peradaban, bahkan yang dipercepat, didukung oleh kapitalisme,” demikian sepenggal tutur Bambang Sugiharto, dalam Colloquium Philosophicum.

Program Extension Course Filsafat (ECF) Fakultas Filsafat UNPAR menggelar Colloquium Philosophicum bertajuk “The Apocalypse of Civilization” di Bumi Silih Asih, Kota Bandung, (Sabtu, 8/7/2023). Colloquium Philosophicum merupakan bagian dari ECF, sebuah forum diskusi filsafat yang telah dijalankan selama dua dekade oleh Fakultas Filsafat Unpar. Gelaran yang merupakan seminar filsafat rutin ini menghadirkan Prof. Dr. Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyodorkan tema berjudul “The Phantom of Creative Destruction”, dan Prof. Dr. Bambang Sugoharto, Guru Besar Fakultas Filsafat Unpar yang mengajukan pembahasan “The Apocalypse of Humanity & Search for Meaning”. Kolokium yang dihadiri sekitar 300 peserta dari berbagai latar belakang ini dimoderatori oleh Dr. Subelo Wiyono, dan ditanggapi oleh Imam Buchori, Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Iwan Pranoto memberikan gagasan tentang kehancuran kreatif dan tentang kritik terhadap kapitalisme. Dalam pemaparannya, Iwan menguraikan bahwa kehancuran adalah efek samping dari kreativitas. Setiap inovasi yang datang belakangan akan menggantikan dan “menghancurkan” inovasi sebelumnya. Di sisi lain, kehancuran dengan demikian mendatangkan kelahiran-kelahiran baru. Sementara Bambang juga memaparkan bahwa hakekat kehidupan adalah proses penciptaan dan proses penghancuran (kehancuran) yang terus berulang, serta bagaimana peradaban saat ini penuh dengan kontradiksi. Ia menawarkan dua alternatif keyakinan untuk memaknai kehancuran (kiamat) dan menjalani kehidupan, yaitu pengalaman cinta melalui benturan-benturan yang dialami dalam hidup dan keyakinan akan kehidupan abadi; yaitu pemahaman bahwa yang esensial dari kehidupan bukanlah materi melainkan jiwa, roh atau energi. Dua tawaran ini ia harapkan bisa menjadi peluang dan daya kreatif bagi manusia untuk bertahan.

Di samping pemaparan narasumber, tanggapan dan sesi tanya jawab, seminar ini juga menampilkan dua karya seni. Sebuah pertunjukan tari bertema “Akhir Titik-titik” ditampilkan oleh personil dari Integrated Arts Fakultas Filsafat Unpar, bersama Artmay Studio. Kehancuran (Kiamat) ditafsirkan secara berbeda, yaitu sebagai datangnya sebuah kado atau pesanan paket. Turut dipamerkan juga di depan aula, sebuah instalasi seni berjudul “Pohon Kiamat”. Sebuah pohon/ranting digantung terbalik pada sebuah kerangka logam yang di bawahnya dihamparkan abu. ***

deBritto