LITURGI : PERAYAAN SYUKUR BERSAMA


Liturgi sebagai unsur hakiki dalam kehidupan beragama mendapat perhatian khusus. Melalui liturgi ungkapan iman yang menyatakan relasi orang yang percaya dengan Tuhan dirayakan bahkan diulang-ulang hingga menjadi kebiasaan ritual. Liturgi menjadi sarana orang beriman mengungkapkan perasaan, pikiran, dan kehendaknya melalui tata gerak tertentu yang dilengkapi dengan musik dan nyanyian serta bacaan dan doa yang sesuai dengan maksud dari liturgi yang sedang dirayakan. Dengan keteraturan dan kesesuaian yang merupakan seni merayakan (ars celebrandi), diharapkan upacara liturgi berlangsung dengan hikmat.

Liturgi Katolik sangat kaya dan bervariasi yang puncaknya adalah liturgi Ekaristi. Untuk itulah liturgi Ekaristi mendapat prioritas dalam Gereja Katolik. Dalam liturgi, ada banyak unsur yang harus diperhatikan agar liturgi berjalan sesuai dengan maksudnya. Kita ambil contoh, liturgi Ekaristi. Ada orang yang menjadi petugas liturgi dan ada orang yang menjadi umat yang turut merayakannya. Ada peralatan yang digunakan sesuai dengan maksudnya dan ada pula aktivitas sesuai urutan dan aturannya yang semuanya ada maksudnya. Maka, liturgi bukanlah kegiatan spontan. Liturgi adalah upacara ritual yang disusun dengan maksud tertentu sesuai dengan ars celebrandi.

Agar maksud liturgi sebagai ungkapan syukur bersama tercapai, diperlukan beberapa hal. Pertama, petugas yang berfungsi sebagai pemimpin dan petugas sebagai pelengkap. Petugas liturgi pada umumnya adalah imam dan diakon. Pada Liturgi Sabda yang bukan sakramen, umat yang telah dibekali dan mendapat perutusan khusus, seperti asisten imam (yang disebut juga prodiakon) bisa melayani sebagai pemimpin. Dalam Liturgi Ekaristi, imam dibantu oleh putra-putri altar, lektor, pemazmur, asisten imam, dirigen, paduan suara, dan petugas gereja lain yang melengkapi, seperti kolektan, keamanan, ketertiban, perangkai bunga, dan media sosial.

Para petugas ini dilatih sedemikian rupa sehingga tata gerak dan tata wicaranya sesuai dengan maksud liturgi. Putra-putri altar berjalan secara teratur dan anggun, tanpa dibuat-buat, tanpa tergesa-gesa, tetapi juga tidak terlalu lambat. Lektor membaca dengan jelas, tidak terlalu cepat, tetapi juga tidak lambat hingga Sabda Allah dapat ditangkap dengan mudah oleh umat. Pemazmur menyanyikan dengan angun sesuai dengan isi mazmurnya. Asisten imam pun membagi komuni dengan anggun penuh hikmat, tidak terlalu cepat dan tidak sangat lambat. Dirigen sebaiknya memperhatikan alur liturgi Ekaristi, di mana lagu-lagu yang dinyanyikan paduan suara sesuai dengan fungsinya. Paduan suara mengiringi liturgi agar liturgi makin hikmat. Pada Ekaristi fungsi paduan suara bukanlah untuk memperdengarkan atau mempertontonkan suatu penampilan (show), tetapi mengiringi liturgi. Oleh karena itu, dirigen dengan cermat memperhatikan kapan harus bernyanyi dan kapan harus berhenti. Jangan sampai imam menunggu lagu yang panjang, diulang-ulang, dan tak kunjung selesai, misalnya lagu persembahan dan lagu sesudah komuni.

Kedua, liturgi bukanlah sekedar perayaan, tetapi perayaan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat dalam liturgi sangatlah mutlak. Keterlibatan ini bukan saja meliputi seruan atau jawaban verbalsaja, tetapi juga keterlibatan jiwa dan raga. Hati dan budinya harus terfokus sesuai dengan nunansa liturgi. Badannya pun harus seiring dengan alur liturgi. Ada saat, di mana kita semua berdiri, duduk, berlutut, atau melakukan gerakan lain sesuai dengan ketentuan, seperti membuat tanda salib. Apa yang ada pada hati dan budi tak dapat dilihat, tetapi apa yang diungkap dengan gerak tubuh dan ucapan bisa ditangkap. Gerak tubuh dan ucapan inilah yang dibutuhkan dalam kebersamaan liturgi hingga kita mencermati kapan harus berbicara dan kapan harus diam; kapan harus berseru (menjawab) dan kapan harus mendengarkan (hening). Ada bagian imam atau petugas lain, dan ada juga ucapan atau jawaban umat. Ucapan dan jawaban umat pun diharapkan seiring dengan liturgi, tidak terlalu pelan hingga nyaris tak terdengar, tetapi juga tidak terlalu keras hingga terdengar menonjol. Suara ucapan dan jawaban umat diharapkan terdengar serempak sebagai ungkapan kebersamaan. Liturgi sepantasnya menampilkan gerak sinodal sehati-sejiwa menuju Allah.

Ketiga, untuk mendukung kebersamaan tersebut, diperlukan teks baik melalui buku ataupun melalui layar. Demi mendukung semangat ekologis, sangat dianjurkan adanya pengurangan penggunaan teks yang sekali pakai langsung buang. Tentu ada banyak orang juga yang tanpa buku dan tanpa melihat layar, bisa menjawab dengan baik dan benar karena sudah biasa dan sudah hafal. Berkaitan dengan teks ini pun, petugas yang bertanggungjawab sepantasnya memperhatikan agar teks tersebut mudah dibaca oleh siapapun baik orang muda, dewasa, maupun lansia karena bentuk dan ukuran hurufnya sesuai kebutuhan.

Keempat, disamping hal-hal di atas yang dilakukan dalam kebersamaan partisipasi penuh umat, peralatan liturgi patut mendapat perhatian. Sekitar lima tahun lalu, Komisi Liturgi Keuskupan Bandung pernah mengadakan penelitian lapangan berkaitan dengan peralatan liturgi. Masih cukup banyak paroki yang belum memenuhi standar liturgi. Peralatan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, harus berkualitas. Piala, sibori, altar, ambo, buku-buku liturgi (Evangeliarum, Tata Perayaan Ekaristi, Buku Bacaan) yang bermutu tentu tidak murah. Itulah peralatan yang kita persembahkan dalam liturgi, di mana kita, sebagai kaum beriman dan umat Allah bersama-sama berbakti pada Allah; menyembah dan bersyukur; memohon dan bertobat.

Kelima, kalau membaca Kitab Keluaran, kita dapat memahami bagaimana bangsa Israel membuat peralatan liturgi sesuai dengan instruksi dari Tuhan melalui Tuhan, misalnya pendirian kemah suci dan tabut perjanjian (Kel 25), mezbah dan peralatan (Kel 27), dan pakaian imam (Kel 28). Kalau membaca Kitab Imamat, kita akan mengerti bagaimana bangsa Israel melakukan berbagai ibadat, misalnya korban bakaran (Im 1), korban sajian (Im 2), dan korban keselamatan (Im 3). Peralatan liturgi, termasuk pakaian petugas liturgi, yang dibuat secara profesional dari bahan-bahan yang berkualitas digunakan dan ditempatkan sesuai dengan fungsi. Barang-barang liturgi tersebut dikuduskan, yaitu diberkati hingga kekudusannya harus dijaga. Mereka yang mencemarkan kekudusan dari barang-barang liturgi tersebut mendapat celaka atau hukuman. Untuk itulah, kita juga diajak untuk menyiapkan peralatan liturgi secara profesional dan menjaga kekudusannya sesuai dengan fungsi masing-masing.

Dengan memperhatikan unsur-unsur di atas, kita diundang untuk terlibat penuh (aktif) dalam liturgi sesuai dengan ars celebrandi. Marilah kita wujudkan keindahan, kesungguhan, dan kehikmatan liturgi sebagai perayaan bersama yang mengungkapkan iman dan memperteguh komitmen sebagai umat Allah.