TIGA PILIHAN GESTURE MEMBUAT TANDA SALIB

Sebagai umat Katolik, gesture membuat tanda salib dalam berbagai kesempatan bukanlah sekedar tindakan ritual formalitas belaka melainkan telah menjadi simbol dan identitas kristianitas sebagai pengikut Kristus. Membuat tanda salib adalah gesture pertama yang kita pelajari dan selalu menjadi pembuka serta penutup doa, baik doa resmi maupun doa pribadi kita. Bahkan dalam kegiatan profan sekalipun, gesture membuat tanda salib sering dijadikan sebagai sebuah “kekuatan”, “perlindungan diri”, “tanda kemenangan”, “tanda keberuntungan”, “tanda keselamatan”, dan hal-hal positif lain yang dapat membuat hidup kita menjadi lebih baik lagi. Kesaksian pertama tentang gesture membuat tanda salib terjadi pada masa-masa awal Bapa-Bapa Gereja yang dimulai oleh St. Tertulianus. Dalam De Corona III, no. 4 sekitar tahun 240, St. Tertulianus menegaskan agar kita membuat tanda salib dalam hidup sehari-hari. “Hendaknya kita menandai dahi kita dengan tanda salib yakni dalam perjalanan, pada saat keluar dan masuk rumah, saat berpakaian, sebelum dan sesudah makan, sebelum dan sesudah tidur, dan dalam segala pekerjaan dan aktivitas yang kita lakukan” (bdk. Mario Righetti, Storia Liturgica, Manuale di Storia Liturgica: Volume I Introduzione Generale, 38).

Dari kesaksian-kesaksian berikutnya sampai sekarang, gesture membuat tanda salib telah mengalami perkembangan baik dalam tata cara maupun fungsinya. Beberapa umat mulai bertanya bagaimana seharusnya membuat tanda salib yang benar menurut Gereja Katolik dan mengapa setiap orang berbeda-beda dalam melakukannya. Perlu kita sadari bahwa setelah Konsili Vatican II, tidak ada dokumen liturgi yang mengatur secara detail bagaimana gesture membuat tanda salib. Bahkan PUMR sendiri hanya menyebut “tanda salib” tanpa penjelasan rinci tentang tahap dan tata cara membuatnya. Yang penting dalam gesture tersebut adalah simbol salib tetap terjaga, makna dan fungsi dari simbol itu dipahami, dan tidak harus mengikuti aturan rigid bagaimana cara melakukannya. Oleh karena itu, ada tiga pilihan gesture yang mungkin sering “diperdebatkan” pada saat membuat tanda salib. Ketiga pilihan gesture tersebut bukan lagi persoalan benar atau salah melainkan persoalan penghayatan pada saat membuat tanda salib dalam hidup beriman kita.

Pectus vel Umbilicus

Pilihan yang pertama adalah antara pectus (dada) atau umbilicus (pusar). Kita tahu bahwa pada saat melakukan tanda salib, kita mengucapkan formulasi trinitaris yakni “Dalam nama Bapa,dan Putra, dan Roh Kudus. Amin”. Pada saat mengucapkan Bapa, tangan kita menyentuh dahi sebagai simbol Allah yang berada di atas. Allah yang menciptakan manusia dan alam semesta, merupakan pusat pikiran dan pengetahuan kita. Setelah itu, pada saat mengucapkan Putra, tangan kita menyentuh dada atau pusar. Dada berarti simbol tempat hati kita berada sebagai lambang Yesus yang mencintai kita sedemikian besarnya sehingga memberikan hidup-Nya kepada manusia sampai Dia wafat di kayu salib dan akhirnya bangkit pada hari ketiga. Cinta-nya yang luar biasa menjadi tanda hati-Nya yang berbelas kasih kepada kita. Pusar berarti simbol tempat awal terjadinya kelahiran Sang Putra yang menyimbolkan peristiwa inkarnasi yakni Allah yang menjadi manusia. Kemudian, pada saat mengucapkan Roh Kudus, tangan kita menyentuh bahu kiri dan saat mengucapkan Amin, tangan menyentuh bahu kanan sebagai simbol pelukan Allah yang kita terima melalui kehadiran Roh Kudus.

Sejak abad V, praktek tangan kanan menyentuh pectus atau dada pada saat mengucapkan Putra sudah terjadi. Dalam ritus servandus Missale Romanum Pius V no 4, gesture membuat tanda salib telah menjadi ritus pembuka dalam Misa. Dikatakan bahwa pada saat membuat tanda salib, tangan kanan bergerak dari dahi menuju dada: producens manu dextera a fronte ad pectus signum Crucis. Simbol salib yang dilakukan ini sesuai dengan tipologi “Salib Yunani” dengan bentuk salibyang mempunyai keempat sisi yang sama. Akan tetapi, sekitar abad XVI, ada perubahan dari “Salib Yunani” menjadi “Salib Romawi” yang memiliki tiga sisi yang sama dan satu sisi yang lebih panjang dibandingkan yang lain. Simbol “Salib Romawi” ini merujuk pada pusat perut atau pusar sebagai simbol inkarnasi pada saat kita mengucapkan Putra dalam gesture tanda salib. Secara teknis, hal ini lebih mudah dilakukan karena pada saat mengucapkan tanda salib, tangan kiri berada di depan dada sedangkan tangan kanan bergerak dari dahi menuju pusar (bdk. Edward Foley, From Age to Age: How Christians have celebrated the Eucharist, 247-248).

Tribus digitis vel Dextris digitis apertis

Pilihan yang kedua adalah antara tribus digitis (dengan tiga jari) atau dextris digitis apertis (dengan jari-jari tangan kanan yang terbuka). Sejak abad VI, praktek membuat tanda salib dengan tiga jari yang terbuka dan dua jari yang tertutup sudah mulai dilakukan termasuk dalam ritus Romawi. Akan tetapi, gesture ini adalah tipologi ritus Timur dan bahkan masih berlaku hingga sekarang. Prakteknya adalah tiga jari yakni jempol, telunjuk, dan jari tengah yang disatukan sebagai simbol Kristus yang memiliki dimensi trinitaris sedangkan dua jari yang tertutup adalah simbol Kristus yang memiliki dimensi ilahi dan manusiawi. Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia.

Sekitar abad X, membuat tanda salib dengan jari-jari tangan kanan yang terbuka mulai dipraktekkan. Jari-jari tangan kanan yang terbuka adalah simbol berkat pada saat Imam memberkati dengan simbol salib dalam liturgi. Gesture ini adalah tindakan umat yang menirukan Imam untuk memberkati dirinya sendiri sambil membuat tanda salib. Dengan membuat tanda salib dengan jari- jari tangan kanan yang terbuka, ada kekuatan atas nama Allah yang turun pada kita. “Apa saja yang engkau minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya (bdk. Yoh 14:13; 15:16; 16:23; 26:27).

Oculis apertis vel opertis

Pilihan yang ketiga adalah antara oculis apertis (dengan mata terbuka) atau opertis (tertutup). Dokumen liturgi sebenarnya tidak berbicara langsung atas pilihan yang ketiga ini. Tekanannya adalah makna dan fungsi dari gesture tersebut dan dilakukan dengan penuh penghayatan. Romano Guardini dalam Sacred Signs menganjurkan agar pada saat kita membuat tanda salib, kita membuatnya dengan sepenuh hati, tidak tergesa-gesa, dan membentuk simbol salib dengan penuh penghayatan baik budi, hati, jiwa dan raga, serta mengarah pada Allah. 

Meskipun dengan mata tertutup seolah-olah menampilkan bentuk penghayatan, akan tetapi dengan mata terbuka berarti kita melakukan gesture tanda salib dengan penuh kesadaran. St. Yohanes Krisostomus menegaskan tanda salib adalah tanda kesetiaan iman kepada Allah yang harus disadari sebagai simbol senjata yang sangat ampuh untuk menolong jiwa dari godaan dan melindungi mereka dari semua kejahatan. Melalui Salib Kristus, kita masuk dalam kemuliaan-Nya. Salib tidak hanya simbol penderitaan saja tetapi juga simbol kebangkitan dan hidup.

Demikianlah ketiga pilihan gesture membuat tanda salib dijelaskan. Dari ketiga pilihan tersebut, semuanya dimungkinkan tanpa harus mengatakan yang satu benar dan yang lain salah sebab bukan gesture detail lagi yang paling utama melainkan makna mendalam dan fungsi di balik gesture yang kita lakukan. Akan tetapi, sebagai sebuah katakese terutama bagi bina iman anak, sebaiknya kita membuat tanda salib dengan jari-jari tangan kanan yang terbuka sebagai simbol berkat; menyentuh pusar pada saat mengucapkan Putra sebagai simbol inkarnasi; dan dengan mata terbuka sebagai simbol diri yang sadar dan aktif. Semoga kita bisa melakukannya dengan sepenuh hati.

RP. Riston Situmorang OSC

Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR