Spiritualitas dan Seksualitas

“Ciumilah aku dengan bibirmu, cuman lebih nikmat dari anggur. Engkau harum semerbak seperti minyak wangi yang tertumpah. Sebab itulah gadis-gadis cinta padamu. Bergegaslah kita ya rajaku. Bawalah aku ke dalam kamarmu. Karena engkau kami semua bersuka ria dan memuji cintamu melebihi anggur. Pantaslah gadis-gadis cinta padamu”. Itu semua tertuang dalam Alkitab pada bagian awal Kidung Agung atau Madah Agung atau song of Solomon atau song of songs atau Mustikaning Kidung dalam terjemahan bahasa Jawa.


Gejala hubungan seksualitas dengan spiritualitas ada di berbagai kitab suci agama-agama, terutama di India (yang berpengaruh kuat di Jawa). Itulah sebabnya di Jawa ada kitab Gatoloco dan Darmogandul yang menggambarkan laku seksual sebagai jalan spiritual. Umumnya para ahli menghubungkan adanya hubungan sangat intim antara Tuhan dan manusia. Dalam Katolik hubungan mempelai laki-laki yang spiritual dengan Gereja sebagai mempelai wanita. Mempelai laki-laki yang berseberangan sifat dasarnya dengan perempuan melahirkan entitas cinta yang mempersatukan keduanya menjadi satu. Dualitas keberadaan manusia (juga tumbuhan dan hewan?) yang dipersatukan secara seksualitas sehingga menjadi esa. Tripartit ini menjelaskan bahwa cinta tak mungkin tanpa manifestasi. Cinta membutuhkan adanya “diri” dengan “diri” lain, cinta selalu berpola tiga yakni maskulinitas lawan feminitas yang melahirkan cinta. Tak mungkin ada cinta tanpa “yang lain”. Tuhan itu cinta, kita tahu apa maknanya.


Gambaran “cinta” secara seksual itu sebuah keniscayaan, karena tak mungkin menggambarkan kesatuan intim antara manusia dan Tuhan dengan gambaran intim asmara. Itulah gambaran pengalaman manusia pada umumnya. Dalam pergaulan asmara dan seksualitas tak ada lagi batasan apapun, termasuk kelas sosial, ras, kaya miskin, kulit hitam-kulit putih dan lain-lain. Suami yang kaya raya dapat diperintah oleh bekas pembantu rumah tangganya yang menjadi istrinya. Pelajaran kesamaan derajat yang paling nyata ada di bidang asmara ini. Seorang raja mau diperintah oleh pelayannya gara-gara sang raja jatuh cinta padanya (Anne Boleyn dan Henry VIII). Para penyair sufi dengan mudah saja menyapa Tuhan sebagai kekasihnya.


Kidung Agung ini sering disebut sebagai puisi karya Raja Salomo (Sulaiman). Sebagai penyair dia telah bertindak jauh mendahului penyair-penyair dunia modern. Akan ditunjukkan bahwa banyak karya sastra yang menghubungkan spiritualitas dengan seksualitas dalam karya-karya penyair. Bukan hanya penyair tetapi juga seni rupa. Beberapa candi di Jawa penuh dengan gejala pornografi, ketelanjangan dan penggambaran alat kelamin. Di India bahkan ada candi yang secara naturalistik menggambarkan dewa-dewa bersenggama secara terang-terangan (Candi Kanjuraho).


Prof. Haryati Soebadio, ahli purbakala, pernah menulis esai tentang gambaran hubungan seksualitas dengan spiritualitas ini di India. Beliau mengupas antologi puisi yang dikerjakan oleh Vidyakara pada zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di India (utara). Beberapa kutipannya : “pada saat nafsu mencapai puncaknya maka wanita yang telah lemah, namun minta dengan sangat, sambil berbicara lambat-lambat akibat asmaranya, tampak lebih cantik dalam kata dan perbuatannya”. Dan ini: “nafas berdesis dan mata setengah tertutup. Kulit berbulu tegak dan keringat bercucuran. Saya puji perubahan-perubahan yang menarik itu yang dialami gadis-hadis bermata rusa selama percumbuhan”. Dan lagi: “dengan paksaan saya berhasil menurunkan bajunya, lalu ketika saya pandang pahanya yang putih seperti tebu matang, dan secepatnya serta penuh kecekatan menutup mata saya”.


Romo Kuntoro Wiryomartono dalam disertasinya mengupas karya sastra Jawa Kuno zaman raja Airlangga di Jawa Timur dengan terus terang berani mencantumkan adegan senggama antara sang pahlawan Arjuna dengan 7 Bidadari di Kahyangan. Para peneliti sastra Jawa kuno jarang yang berani mencantumkan adegan-adegan semacam itu yang mereka nilai hanya merupakan sisipan para penyalin nya di kemudian zaman yang sudah merosot susilanya dan berani menyisipkan adegan-adegan pornografi di dalam karya-karya adiluhung itu. Ternyata terjemahan Romo Kuntoro membuktikan pornografi itu ditulis oleh para pujangga istana itu sendiri.


Dikisahkan Arjuna bertapa untuk membalas penghinaan Kurawa bertanya memohon senjata yang ampuh pada para dewa. Dalam pertapaan ia digoda oleh tujuh bidadari. Tetapi Arjuna berhasil menahan nafsu birahinya. Coba di tengah hutan ada tujuh gadis cantik dengan semangat menggodanya. Arjuna tak tergoyahkan sedikitpun. Nafsu kebencian dendamnya jauh lebih kuat dari nafsu asmaranya. Ketika Arjuna berhasil menaklukkan raksasa yang menyerang kahyangan, ia diberi ganjaran boleh tidur sepuasnya dengan tujuh bidadari yang dulu menggodanya. Letak pornografi seksualitasnya terletak pada bagaimana melukiskan laku asmara para bidadari itu. Kelihaian pengarangnya, Mpu Kanwa, adalah tujuh bidadari itu terdiri dari yang amat remaja ke yang sudah amat matang dalam olah asmara. Waktu mendekati gadis remaja, baru saja Arjuna menyentuh tangannya, gadis itu lari berteriak-teriak.


Pada adegan bidadari dewasa Arjuna dengan hati-hati menyingkap kain bidadari dengan lembut bidadari itu menutupnya kembali yang membangkitkan keberanian Arjuna untuk meneruskan permainannya. Jelas bahwa gambaran asmara pada kitab-kitab religius zaman Hindu Jawa mengajak untuk menggambarkan kesetaraan dalam keintiman antara dewa dengan manusia. Patut dicatat bahwa masyarakat Jawa sejak dulu petani yang akrab dengan problem kesuburan. Pengalaman kesuburan mereka pelajari dari hubungan laki-laki perempuan (seperti tumbuhan dan binatang juga). Permainan Asmara adalah simbol dan sekaligus penghayatan penting dalam menjalin yang material dan yang spiritual.


Rupanya Raja Salomo tak segan menulis pengalaman spiritualnya melalui aktualitas seksualnya. Bahkan penyair yang berasal dari keluarga kyai pesantren, Acep Zamzam Noor menulis puisi : “Doa-doaku menyelinap dalam kutangmu, seperti tangan-tanganku nakal meremas payudaramu di surga.


Seksualitas dan spiritualitas kadang begitu dekat berdampingan.

Jacob Sumadjo