PERSIAPAN BATIN MENJELANG EKARISTI

Seperti yang kita tahu, bahwa Perayaan Ekaristi itu satu kesatuan utuh. Semua bagian dari ritualnya itu saling terkait. Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi; meja sabda dan meja perjamuan sama pentingnya. Satu sama lain saling melengkapi dan saling mensyaratkan. Unsur- unsur ritual lainnya merupakan penghantar dan sekaligus merupakan gema dari kedua bagian besar tersebut. Namun ketika Ekaristi hendak dicari intipatinya atau ‘titik apinya’, maka Doa Ekaristi yang disebut Doa Syukur Agung atau Anaphora merupakan puncaknya. Karenanya disebut sebagai doa syukur yang agung dan mulia, luhur dan sakral. Suatu doa yang menggelar ‘peristiwa keselamatan’ menjadi nyata kembali. Suatu ‘tindakan penebusan’ menjadi aktual. Dengan kata lain, ‘peristiwa rahmat’ dapat kita terima anugerahnya pada waktu dan di tempat dimana Perayaan Ekaristi digelar.

Doa Syukur Agung yang merupakan pusat dari seluruh perayaan itu, juga memiliki pusatnya tersendiri yakni apa yang disebut ‘Kisah Institusi’, suatu formula konsekrasi dengan tata gerak imam yang memiliki daya untuk mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Suatu pemenuhan ‘titah ilahiah’ berupa wasiat yang menyimpan misteri iman; “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku”. Partisipasi aktif lahir-batin selama dan sepanjang perayaan berlangsung menjadi penting dan prasyarat utama agar peristiwa rahmat itu terjadi dan dialami dalam hidup. Bentuk partisipasi aktif lahir-batin, jiwa-raga, jasmaniah-rohaniah, bahkan partisipasi yang bersifat spiritual dan mistis menjadi keharusan. Suatu prasyarat untuk menerima Tubuh Kristus. Pada saat komuni kudus itulah kita yang manusiawi bersatu dengan Yang Ilahi. Yesus Tuhan hadir secara personal di dalam diri kita masing-masing. Kehadiran-Nya yang menyelamatkan, menebus dan anugerah rahmat-Nya menjadi nyata.

Nah, disinilah pemikiran tentang pentingnya persiapan batin menjelang Ekaristi itu harus menjadi perhatian. Komuni kudus atau menyambut Tubuh Tuhan bukan sekedar untuk mengutuhkan suatu pesta perjamuan dengan menyantap hidangan. Tetapi Komuni Kudus itu meneguhkan iman, harapan, kasih kepada Tuhan. Makna, guna dan arti Ekaristi menjadi jelas tegas. Sakramen Ekaristi sebagai tanda yang memberi dampak rahmat-Nya secara personal dialami dan dirasakan secara nyata. Ajaran tentang ‘Deifikasi’ atau ‘Theosis’ (manusia menjadi seperti Allah) diwujudnyatakan dalam komuni kudus. Komuni artinya bersatu dengan Tuhan. Apa persisnya yang dimaksud dengan persiapan lahir-batin itu? Jawabannya sederhana. Peristiwa sakral yang akan dialami dan diterima itu memerlukan kondisi yang suci. Kondisi yang pantas dan layak untuk menyiapkan ruang pada yang Kudus. Seperti yang ditulis dalam 1 Kor 11: 29. Supaya tidak terjadi dosa ‘sakralegi’. Hanya jiwa-raga yang suci yang pantas untuk menerima Tuhan untuk bersemayam dalam dirinya.

Niat atau intensi secara mental itu penting. Niat itu menentukan kesungguhan, karena dalam intensionalitasnya tertera kesadaran. Sehingga suatu tindakan dilakukan dengan tulus, iklas dan atas dasar keinginan serta kerinduan yang besar. Bukan karena terpaksa sekedar memenuhi kewajiban yang legalistik dan formalistik saja. Tentu saja adanya niat atau intensi tersebut memberi dasar yang kuat untuk suatu persiapan lahir dan batin. Bangun dari tidur, mandi, memilih baju dan sepatu karena berniat akan pergi ke gereja, akan berbeda maknanya bila tanpa intensionalitas. Niat menyarankan suatu persiapan lahir dan batin. 

Tradisi Gereja Katolik telah menentukan apa yang harus dipersiapkan sebelum Perayaan Ekaristi. Khususnya sebelum menyambut Komuni Kudus. Hukum Gereja no. 191 # 1 menegaskan bahwa untuk menyambut Komuni Kudus itu ‘sekurang-kurang’ satu jam terlarang untuk makan dan minum sebelumnya. Dengan sedikit pengecualian boleh minum air mineral/natural dan minum obat. Kata ‘sekurang kurangnya’ mengartikan bila dalam kondisi terpaksa. Tradisi telah menunjukkan idealnya. Secara historis, Tradisi telah mengajarkan suatu yang lebih keras dan ketat. Apa yang disebut dengan istilah ‘ieiunium eucharisticum’ (puasa ekaristi), sejak abad ke-3 Santo Tertulianus melarang keras makan dan minum termasuk hubungan badan suami-istri sebelum menyantap Tubuh dan darah Kristus. St. Agustinus pada tahun 383 menginspirasi Sinode Hippo; para uskup menegaskan bahwa perayaan ‘Perjamuan Tuhan’ itu hanya bagi mereka yang berpuasa saja. Yang tidak berpuasa tidak diperkenankan baik bagi imamnya maupun umatnya. ‘Berpuasa’ paling tidak selama 12 jam atau sekurang-kurangnya tidak makan minum mulai tengah malam. Paus Pius XII pada tahun 1957 dalam Sacram Communium mengurangi durasi ‘puasa ekaristi’ itu menjadi 3 jam. Sebelum mencapai 3 jam ‘puasa ekaristi’ tidak diperkenankan menyambut Tubuh Tuhan. Kemudian Paus Paulus VI tahun 1973 dalam Imensae Caritatis mereduksi ‘puasa ekaristi’ menjadi 1 jam. Tetapi menambahkan keharusan mengaku dosa terlebih dahulu bagi mereka yang tercemar oleh kedosaan. Dari sanalah Hukum Gereja (no. 919 # 1) menegaskan ‘sekurang-kurangny 1 jam ‘puasa ekaristi’. Yang sudah tentu kebijakan ini diikuti secara konsekwen oleh St. Paus Yohanes Paulus II, Bendictus XVI dan Paus Fransiskus. Ajaran Tradisi Gereja Katolik ini tentunya terinspirasi dan mengambil dasar alkitabiahnya dari 1 Kor 11: 29; yakni perlunya kepantasan dalam menyambut Tubuh Tuhan.

Ieiunum eucharisticum atau ‘puasa ekaristi’ itu wujud konkrit dari persiapan lahir-batin. Secara supernatural, menahan lapar dan haus sebelum menyambut Tubuh Tuhan itu bermkna untuk menciptakan secara spiritual ‘lapar dan dahaga’ akan Tubuh dan Darah Tuhan. Meskipun Hukum Gereja menegaskan ‘sekurang-kurangya’ 1 jam, tidak berati harus diikuti secara minimalis. Bila ‘puasa ekaristi’ itu bermanfaat untuk latihan kesalehan dan dapat membangun kehidupan rohani, maka memilih durasi yang lebih lama sambil mengikuti anjuran untuk mengaku dosa terlebih dahulu itu suatu tindakan yang terpuji dan mulia. Suatu persiapan lahir batin yang sempurna. Bahkan, dalam kultur masa kini yang hedonistik dan lemah dalam penyangkalan diri, ‘puasa ekaristi’ menjadi medium yang ampuh untuk pengolahan hidup spiritual seorang Katolik sejati.


RD. Fabie Sebastian