PERAN PEREMPUAN DALAM LITURGI

Di berbagai Paroki pada hampir seluruh wilayah Gereja Katolik di Indonesia sekarang ini, kita sudah biasa mengalami dan menyaksikan petugas liturgi perempuan, seperti MC atau pembawa acara dan pengumuman, pembaca bacaan (lektor), pemazmur, dirigen dan atau anggota kelompok paduan suara (kor), petugas tata tertib, petugas pembawa bahan persembahan, dan bahkan di beberapa Keuskupan juga misdinar atau putri-putri altar dan prodiakon atau asisten imam perempuan. Itu adalah buah dari pembaruan liturgi oleh Konsili Vatikan II (1962-1965). Terbitnya Motu Proprio Paus Fransiskus yang berjudul Spiritus Domini, tanggal 10 Januari 2021 mau meneguhkan dan menegaskan berbagai kemungkinan peran perempuan dalam liturgi, seperti sudah kita jalani selama ini.

Praktek kuno yang seperti baru

Motu Proprio Spiritus Domini dari Paus Fransiskus sebenarnya merupakan pemberian dasar legitimasi secara yuridis tentang peranan perempuan dalam liturgi yang secara praktis sudah banyak dilaksanakan di banyak Keuskupan dan Paroki. Melalui Motu Proprio ini Paus Fransiskus mengadakan perubahan (amandemen) pada kanon 230 §1 dari Kitab Hukum Kanonik (KHK 1983), dari kata yang semula Orang awam laki-laki ” menjadi “Orang awam”, artinya: istilah “laki-laki” dicoret. Bunyi lengkapnya adalah: 

"Orang awam yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret Konferensi Para Uskup, dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgi yang ditentukan; tetapi pemberian tugas-tugas itu tidak memberikan hak atas sustentasi atau remunerasi yang harus disediakan oleh Gereja” (kan. 230 §1).

Konsekwensi dari rumusan tersebut adalah siapa pun orang awam, entah laki-laki atau perempuan, yang memenuhi syarat, dapat diangkat bagi pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgi yang ditentukan, katakanlah dengan upacara pelantikan lektor dan pelantikan akolit atau misdinar (putra-putri altar). Dari berbagai komentar atas Motu Proprio ini tampaknya Paus Fransiskus mau memastikan pemberian ijin secara yuridis (legalisasi) bagi peran perempuan dalam liturgi seperti yang sudah disebut di atas. Hal ini berkaitan dengan perbedaan praktek di satu Keuskupan atau satu Paroki dengan Keuskupan atau Paroki lainnya, seperti misalnya praktek misdinar putri atau putri-putri altar, dan prodiakon atau asisten imam perempuan. Di Gereja Katolik di Indonesia pun terdapat praktek yang berbeda-beda. Ada Keuskupan atau Paroki yang memperbolehkan misdinar putri dan prodiakon/asisten imam perempuan, tetapi juga ada yang tidak memperbolehkan. Nah, dengan dokumen Paus Fransiskus Spiritus Domini ini, setiap Keuskupan dan tentu saja Paroki di dalamnya boleh mempraktekkan dengan tenang dan damai: misdinar putri dan prodiakon/asisten perempuan, selain tentu misdinar putra dan prodiakon/asisten laki-laki. Tentu saja untuk tugas-tugas liturgi lainnya seperti lektor, pemazmur, MC atau pembawa pengumuman, pembawa bahan persembahan dan lain-lain dengan sendirinya boleh dan bisa lanjut.

Sub judul di atas saya beri kata-kata “Praktek kuno yang seperti baru”. Maksudnya, peran perempuan yang luas dalam hidup Gereja ataupun bidang liturgi sebenarnya sudah kuno karena ada dan biasa di Gereja perdana atau pun abad-abad pertama. Menjadi terasa baru pada hari-hari ini barangkali karena Motu Proprio Paus Fransiskus bulan Januari 2021 yang lalu, yang menyadarkan kita mengenai peran yang besar bagi perempuan dalam Gereja, khususnya liturgi. Contoh paling konkret adalah sosok Febe, seorang perempuan, yang dilukiskan Paulus sebagai seorang diakon Gereja di Kengkrea (Rm 16:1-2). Meskipun sebutan “diakon” pada waktu itu belum mengungkapkan suatu makna jabatan hirarkis yang khusus, tetapi dengan gelar itu jelas ditunjukkan suatu tugas dan tanggung jawab yang diemban perempuan bagi jemaat kristiani. Selain itu Kitab Suci juga menyinggung tokoh perempuan yang sangat berperan dalam Gereja perdana seperti Priskila, istri Akwila yang memiliki peran menentukan bagi Gereja di Efesus (Kis 18:26; 1 Kor 16:19), bahkan Paulus menyebut Priskila dan suaminya Akwila sebagai teman sekerja dalam Kristus (Rm 16:3). Ada juga nama-nama seperti Maria, Trifena, Trifosa, Persis, Yulia, seperti disebut oleh Paulus (Rm 16:6.12.15).

Belum lagi ada banyak data nama-nama perempuan yang berperan besar dalam hidup Yesus seperti diceritakan dalam Injil, yang kiranya tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Intinya satu: perempuan memiliki peranan yang besar dan menentukan dalam Gereja, bukan hanya liturgi tetapi dalam keseluruhan hidup dan perjalanan Gereja. Maka menarik apa yang dikatakan Paus Benediktus XVI ketika membahas peran perempuan dalam Gereja: “Tanpa sumbangan yang murah hati dari banyak perempuan, sejarah Gereja tentu berkembang secara berbeda”. Dari sejarah liturgi Gereja, pernah ada tahbisan perempuan yang menjadi diakon pada abad-abad pertama hingga abad kelima di Gereja Barat dan hingga abad kesebelas di Gereja Timur. Tahbisan diakon bagi perempuan ini bahkan masih dipraktekkan hingga zaman ini di beberapa Gereja Ortodoks yang terpisah dari Gereja Barat (Roma) tahun 1054. Sementara itu di Gereja Protestan, seperti Anglikan, Lutheran, Evangelis dan seterusnya tahbisan untuk perempuan pada masa kini biasa dipraktekkan, bukan hanya untuk diakon, tetapi juga imam dan uskup perempuan. Gereja Barat atau Gereja Katolik Roma menempuh jalan yang konsisten dari abad V hingga sekarang bahwa tahbisan diakon, imam dan uskup hanya untuk laki-laki. Sementara itu perempuan dapat berperan di berbagai bidang kehidupan Gereja Katolik secara luas, selain sebagai anggota klerus yang ditahbiskan.

Berbagai pelayanan bagi pembangunan tubuh Kristus

Bukan tempatnya di sini untuk berdiskusi mengenai mengapa Gereja Katolik Roma tidak memberikan kemungkinan tahbisan perempuan. Saya lebih menyarankan: kita mengikuti saja apa yang menjadi pandangan dan ajaran Gereja resmi, sebagaimana telah dinyatakan sekarang ini oleh Paus Fransiskus. Menurut saya, yang terpenting bukanlah saya dapat menjadi apa untuk dapat melayani Gereja yang kudus ini, melainkan setiap pelayanan yang dipercayakan kepada kita sekarang ini dalam Gereja adalah karunia Tuhan agar pelayanan kita dapat membangun tubuh Kristus, yakni Gereja. Itulah semangat yang dikobarkan oleh Santo Paulus dalam suratnya di Efesus: “Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus…..untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Ef 4:7.12).

Kembali pada peran perempuan dalam liturgi Gereja, setiap tugas yang dipercayakan kepada umat, baik yang perempuan maupun laki-laki, merupakan cara kita ambil bagian dalam pelayanan bagi Tuhan dan Gereja. Seperti disebut dalam Motu Proprio Spiritus Domini, dasar peran dan partisipasi setiap orang awam, entah perempuan ataupun laki-laki adalah sakramen Baptis sendiri yang memberikan kepada kita semua imamat umum. Baikimamat umum maupun imamat jabatan sama-sama ambil bagian dalam satu-satunya imamat Yesus Kristus. Hanya Kristuslah yang menjadi pusat perayaan liturgi dan sekaligus Sang Imam Agung dalam perayaan liturgi kita. Baik Uskup, Imam, Diakon tertahbis, maupun petugas liturgi awam, termasuk prodiakon perempuan dan laki-laki, misdinar putri dan putra, dan lain-lainnya, hanyalah berpartisipasi dalam satu-satunya imamat Yesus Kristus. Hanya bentuk partisipasinya saja yang berbeda-beda. Pendasaran biblis sangatlah kokoh, seperti dikatakan oleh Santo Paulus: “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Orang memang sering suka berbicara tentang perbedaan, tetapi malah lupa mensyukuri kesamaan atau kesatuan, dan dalam konteks pelayanan kitadalam Gereja, kesatuan itu hanyalah ada di dalam Tuhan Yesus, Tuhan kita.

Seperti sudah disinggung di depan, untuk jenis-jenis pelayanan seperti lektor, pemazmur, MC atau pembawa acara atau pengumuman, petugas tata tertib, dirigen atau paduan suara, pembawa bahan persembahan, atau malah penari jika ada, sudah biasa diperankan oleh perempuan juga, selain laki-laki. Di berbagai Keuskupan dan Paroki di dalamnya tugas-tugas tersebut sudah diperankan perempuan juga. Hanya saja, masih ada beberapa Keuskupan dan termasuk di dalamnya Paroki, yang belum memberikan ijin bagi petugas misdinar perempuan atau putri altar, dan prodiakon atau asisten imam perempuan. Nah, dengan peraturan baru yang diundangkan oleh Paus Fransiskus mulai tanggal 10 Januari 2021 yang lalu, Keuskupan dan Paroki-Paroki tersebut hendaknya membuka diri bagi perempuan untuk pelayanan misdinar ataupun prodiakon/asisten imam.

Alasan banyak Paroki yang dahulu atau kemarin tidak mengijinkan anak-anak perempuan menjadi misdinar biasanya dikaitkan dengan panggilan imamat. Dikawatirkan apabila misdinar putri dibuka atau diijinkan di Paroki tersebut, panggilan untuk imamat dari anak-anak laki-laki akan menurun atau bahkan menghilang. Mungkin perlu ada penelitian yang lebih serius berkaitan antara tugas misdinar ini dengan panggilan imamat, berhubung tidak sedikit calon imam yang dahulu tidak pernah ikut menjadi misdinar. Tetapi poinnya sekarang tidak dapat lagi pada masalah kekawatiran panggilan imamat yang menurun. Benih panggilan imamat menurun di beberapa tempat biasanya juga tidak langsung berhubungan dengan soal tugas misdinar ini. Kita mesti kembali pada poin dasar bahwa setiap orang, entah laki-laki atau perempuan, dapat ambil bagian dalam tugas pelayanan Gereja berkat sakramen Baptisan, seperti telah disampaikan oleh Paus Fransiskus. Intinya, dengan sakramen baptissetiap orang termasuk perempuan dapat ambil bagian dalam tugas-tugas liturgi sesuai dengan “apa yang menjadi perannya menurut hakikat perayaan serta kaidah-kaidah liturgi” (SC 27).

Kini saatnya, anak-anak putri di Paroki-paroki dapat menjadi putra-putri altar, selain seperti menjadi putri-putri sakristan (praktek di beberapa Paroki), atau ibu-ibu atau para perempuan dapat ikut menjadi prodiakon atau asisten imam bila dikehendaki oleh umat dan mengikuti proses seperti lazimnya. Untuk Keuskupan dan Paroki-Paroki yang sudah lama mempraktekkan hal tersebut, lanjutkan dan tingkatkan saja agar pelayanan kita, entah sebagai laki-laki atau perempuan, dapat optimal dalam mengabdi Gereja dalam rangka memuliakan Tuhan kita! Yang sangat penting adalah bagaimana mereka dipersiapkan dengan baik, dan bila sudah menjadi petugas liturgi tersebut, mereka tetap didampingi dan ditingkatkan secara intensif, konsisten, dan kontinyu.

E. Martasudjita, Pr, Guru Besar dalam bidang teologi dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.