Mengapa Gereja Lebih Menganjurkan Penguburan Jenazah daripada Kremasi?


Oleh R.P. Postinus Gulö, OSC*


Pertanyaan


Pastor Postinus, saya STY, seorang Katolik. Saya pernah mendengar bahwa kendati Gereja mengizinkan kremasi jenazah, akan tetapi Gereja lebih menganjurkan kebiasaan penguburan jenazah dipertahankan oleh umat Katolik. Pastor, apa kira-kira alasannya? Kalau boleh tahu, sejak kapan Gereja tidak melarang lagi praktik kremasi jenazah? Dan mengapa tidak melarang kremasi jenazah itu lagi? Terima kasih.


Dari Bapak STY (Bandung)


Jawaban


Bapak STY yang baik, terima kasih atas pertanyaannya. Sangat baik umat Katolik mengetahui ajaran Gereja terkait penguburan dan kremasi jenazah umat beriman Katolik. Gereja sejak abad awal hingga sebelum tahun 1963, hanya mengizinkan penguburan jenazah umat beriman Kristiani. Sementara pada tahun-tahun itu, kremasi dilarang keras. Ada beberapa alasan mengapa Gereja melarang kremasi jenazah, antara lain:

Pertama, praktik kremasi jenazah itu bukanlah praktik Kristiani, melainkan praktik pagan atau kaum penyembah berhala.

Kedua, praktik kremasi sebagai tindakan menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada orang Kristiani. Pada abad-abad pertama, Kekaisaran Romawi membenci dan memusuhi Gereja. Bahkan, orang-orang Kristen dibunuh dan mayatnya dibakar, lalu abunya tidak dikuburkan tetapi ditaburkan. Melalui tindakan ini, orang-orang Romawi ingin memastikan bahwa tidak ada kemungkinan lagi bagi Allah umat Kristen untuk mempersatukan tubuh dan jiwa para martir seperti yang diajarkan oleh para rasul.

Ketiga, memilih kremasi karena tidak meyakni bahwa setelah kematian ada kebangkitan badan. Dengan kata lain, tidak meyakini adanya kehidupan setelah kematian.

Gereja baru mulai mengizinkan praktik kremasi pada tahun 1963 melalui Instruksi Sanctum Officium berjudul Piam et Constantem (5 Juli 1963) yang disetujui oleh Paus Paulus VI. Selanutnya, Piam et Constantem disingkat PC. Dalam dokumen PC ini, Gereja menegaskan bahwa kremasi pada dasarnya tidak bertentangan dengan iman Kristen oleh karena kremasi tidak mempengaruhi jiwa orang meninggal. Kremasi tidak mencegah Allah dalam kemahakuasaan-Nya untuk membangkitkan jenazah dalam kehidupan baru. Oleh sebab itu, kremasi, dalam dan dari dirinya sendiri, secara objektif tidak menyangkal ajaran Kristen mengenai keabadian jiwa maupun kebangkitan badan (bdk. Sanctum Officium, Instructio Piam et Constantem, 5 Juli 1963: AAS 56 [1964], 822-823).


Kebiasaan Penguburan yang Sangat Dianjurkan


Melalui Instruksi Piam et Constantem (Kesalehan dan Kebiasaan Konstan), Gereja mengizinkan praktik kremasi, sejauh alasan memilih kremasi tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Namun, Gereja menegaskan bahwa kebiasaan saleh menguburkan jenazah yang sangat dianjurkan untuk dipertahankan oleh umat Kristiani. Kremasi tidak dilarang, tetapi juga tidak dianjurkan, yang sangat dianjurkan adalah penguburan jenazah.

Ajaran Gereja ini diteruskan dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 1176 §3, Katekismus Gereja Katolik, salah satunya, dalam no. 2301. Dalam dokumen Gereja terbaru (tahun 2016), yakni Ad Resurgendum Cum Christo (ARCC)Gereja tetap mengizinkan kremasi sejauh tidak bertentangan dengan iman kristiani.

Baik kalau kita membaca isi utuh KHK Kanon 1176 §3 itu: “Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk menguburkan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani”. Ada beberapa alasan mengapa Gereja lebih menganjurkan penguburan jenazah dibandingkan kremasi.

Pertama, pemakaman merupakan praktik yang sudah ada dalam Kitab Suci. Tobias dalam Kitab Tobit, juga menguburkan orang mati. Bahkan Yesus sendiri dikuburkan. Praktik penguburan sudah lazim sejak Gereja perdana.

Kedua, tubuh manusia merupakan Kenisah Roh Kudus atau Bait Roh Kudus (1 Kor 3:16; 1 Korintus 6:19), maka mesti dihormati melalui penguburan yang dilaksanakan dalam tata liturgi Kristiani.

Ketiga, melalui penguburan terungkap makna kematian, beralihnya hidup manusia dari dunia dan menetap pada Tuhan (2 Korintus 5: 8; Yohanes 14: 2-3). Melalui penguburan orang meninggal, kita menyerahkan orang meninggal kepada Tuhan Allah dan dengan penuh harapan menaburkan di bumi benih tubuh, yang akan bangkit dalam kemuliaan (bdk. 1 Kor 15: 36; KGK 1683).

Keempat, sejak semula, umat Kristen telah menghendaki agar orang-orang yang meninggal menjadi objek doa dan kenangan komunitas Kristiani. Makam mereka telah menjadi tempat doa, kenangan, dan permenungan. Umat beriman yang telah meninggal tetap menjadi bagian Gereja yang percaya pada “persekutuan semua umat yang beriman kepada Kristus, yang adalah peziarah di bumi, orang mati yang sedang dimurnikan, dan para kudus di surga, semua bersama-sama membentuk satu Gereja.” Hal ini ditegaskan dalam Instruksi Ad Resurgendum cum Christo, art. 5. Dokumen ini dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tahun 2016.

Kelima, makam merupakan tempat suci. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1205. Bunyinya demikian: “Tempat-tempat suci ialah tempat yang dikhususkan untuk ibadat ilahi atau pemakaman umat beriman melalui persembahan atau pemberkatan sesuai dengan buku-buku liturgi yang ditetapkan untuk itu”.


Alasan Kremasi


Ada beberapa alasan kremasi yang bertentangan dengan iman dan ajaran Kristiani, antara lain: Pertama, memilih kremasi karena tidak percaya pada kebangkitan badan, tidak percaya pada kehidupan kekal, tidak percaya pada kemahakuasaan Allah atas orang mati.

Kedua, memilih kremasi untuk menunjukkan permusuhan atau kebencian kepada umat Kristiani (bdk. ARCC 1; Piam et Constantem dalam AAS 56 (1964), hlm. 822-823).

Ketiga, memilih kremasi karena menganut paham panteisme, naturalisme dan nihilisme (bdk. ARCC 7). Ketiga aliran ini jelas bertentangan dengan ajaran dan iman Kristiani. Panteisme memandang bahwa Tuhan adalah segalanya, dan segalanya adalah Tuhan. Natularisme meyakini bahwa segala sesuatu berasal dan kembali ke alam. Aliran ini menolak kemahakuasaan Allah. Panteisme dan naturalisme sama-sama memandang bahwa Allah melebur dengan alam. Allah tidak memiliki sifat adikodrati. Aliran ini memahami bahwa melalui kematian, tubuh manusia kembali bersatu dengan alam atau kosmos. Tubuh tidak beralih ke surga, tidak menetap pada Tuhan. Penganut pandangan ini cenderung menaburkan abu jenazah di udara, darat dan laut, dengan tujuan agar roh orang yang telah meninggal tersebut terserap oleh ibu bumi atau semesta.

Aliran nihilisme bertentangan dengan iman Kristiani oleh karena aliran ini meyakini bahwa kehidupan tidak memiliki nilai, tidak punya makna dan tidak punya tujuan. Kematian manusia adalah akhir dari segalanya. Tak ada kehidupan sesudah kematian, tak ada kehidupan kekal, tidak ada pula kebangkitan badan. Kematian merupakan penihilan seorang pribadi.

Keempat, memilih kremasi karena percaya pada ajaran reinkarnasi (bdk. ARCC 3). Aliran ini percaya akan lingkaran-lingkaran regenerasi. Setelah kematian seseorang akan hidup lagi dalam sosok yang lain. Kremasi dipilih untuk membantu mempercepat pelepasan jiwa dari tubuh lamanya, yang sudah tidak berguna lagi.

Melalui Kitab Hukum Kanonik Kanon 1184 §1, no. 2, Gereja sangat tegas menyatakan bahwa kremasi jenazah harus ditolak jika kremasi itu dipilih atas alasan yang bertentangan dengan iman Kristiani. Dalam Ad Resurgendum cum Christo, art. 4, alasan kremasi yang tidak bertentangan dengan iman Kristiani adalah alasan higienis (kesehatan) dan alasan sosial atau ekonomi. Pernah terjadi pada masa tertentu manusia diserang penyakit menular hingga meninggal. Atas alasan kesehatan, jenazah mereka ada yang dikremasi, kemudian abu jenazah mereka dikubur di pemakaman atau di tempat suci atau disimpan dalam Columbarium. Di daerah-daerah tertentu, ada keluarga yang tidak mampu mendapatkan area pemakaman yang layak atau tidak mampu membayar pajak makam. Atas alasan ekonomi ini, kemudian mereka memilih melakukan kremasi atas jenazah anggota keluarganya.


Tindakan Pastoral


Sebelum saya menutup jawaban saya atas pertanyaan Bapak STY, saya ada usul pastoral.

Pertama, sebelum melakukan kremasi, alasan keluarga memilih kremasi tidak bertentangan dengan ajaran dan iman Kristiani.

Kedua, perlu diketahui tindakan keluarga setelah melakukan kremasi. Jika abu jenazah itu nantinya ditaburkan (dilarung) di udara, di darat dan di laut, jelas ini dilarang oleh Gereja. Otoritas Gereja (seperti pastor paroki atau pastor vikaris) perlu menyampaikan kepada umat larangan ini. Penaburan (pelarungan) abu jenazah di udara, darat dan laut mengandung paham panteisme, naturalisme dan nihilisme. Ketiga aliran ini bertentangan dengan ajaran dan iman Kristiani. Tindakan yang paling dianjurkan adalah mengubur abu jenazah itu. Bisa juga abu jenazah disimpan dalam tempat suci lainnya, seperti Columbarium.

Ketiga, di tingkat paroki, Gereja stasi, lingkungan atau kring perlu diadakan katekese terkait praktik kremasi. Pada saat itu, pastor paroki atau orang yang kompeten perlu memberikan arahan liturgis dan pastoral yang relevan. Kepada umat Katolik perlu disampaikan langkah-langkah pastoral khusus terkait kremasi. Langkah pastoral ini bertujuan untuk menghindari tindakan yang bertentangan dengan iman Kristiani, menghindari skandal dan tindakan indiferentisme religius dalam praktik kremasi. Tindakan indiferentisme itu, misalnya, sikap acuh tak acuh atas ajaran agama (Katolik) atau sikap yang menyamakan semua ajaran agama. ***


*Pengajar Hukum Gereja di FF Unpar; Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).