Kita baru saja memperingati kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke surga, meninggalkan kuburannya, kosong. Kisah kuburan kosong juga dikenal di Sunda. Adalah budayawan Sunda Ayat Rohaedi dan Edi Ekajati yang pertama mengemukakan adanya kuburan kosong di daerah Priangan. Kepada kita kuburan kosong akibat kenaikan Yesus ke surga, tetapi di Sunda kisah kebangkitan orang mati hanya ditemukan di cerita pantun.
Banyak cerita pantun yang mengisahkan bagaimana para pangeran raja-raja Sunda zaman Hindu menghidupkan musuh-musuhnya yang berhasil dia bunuh, dan biasanya ada empat raja yang gagal dalam perebutan seorang putri dalam sebuah sayembara. Yang berhasil memenangkan sayembara adalah salah seorang putera Raja Pajajaran. Raja-raja yang kalah sayembara tadi satu persatu berusaha merebut sang puteri dari putera Raja Pajajaran tadi (biasanya disebut sebagai Putera Prabu Siliwangi). Bentuk sayembara bukan hanya berupa ketangkasan yang harus dimiliki oleh Putra Raja tetapi juga sayembara memecahkan makna sebuah puisi religius.
Raja-raja perebut puteri Pajajaran tadi satu persatu dapat dibunuh oleh sang pangeran. Atas permohonan adik perempuan dari raja-raja yang terbunuh tadi agar abangnya dihidupkan oleh pangeran Padjadjaran, maka keempat Raja itu dihidupkan dari kematian. Perlu dijelaskan pula bagaimana para pangeran Pakuan Pajajaran tadi dapat menghidupkan orang mati. Dalam pantun Mundinglaya Dikusumah dikisahkan bagaimana mundinglaya yang baru berusia delapan tahun sudah menguasai ilmu mistik. Ketika dia dewasa mampu memasuki alam di sajabaning langit alias alam spiritual..
Sedangkan kuburan kosong di Sunda tak ada hubungannya dengan kebangkitan orang mati. Kuburan kosong di Sunda adalah akibat sistem budaya masyarakat Indonesia yang diskontinyu dari zaman ke zaman. Sebelum masyarakat Indonesia mengenal dan menerima budaya-budaya religius dari luar (Hindu, Islam dan modernitas), masyarakat suku-suku di Indonesia telah memiliki religi sukunya sendiri. Ingat Clifford Geertz menamakan adanya Agama Jawa.
Dalam sistem kepercayaan Sunda sebelum mengenal agama Hindu dari India, dikenal adanya religi Sunda Wiwitan. Biasanya para sarjana menemukan religi kuno itu di masyarakat Baduy di Banten. Dalam mitologi Baduy dikenal adanya mitologi yang dicatat Soeria Saputra dalam manuskripnya, Baduy, sebagai berikut. Sebelum Ada ini ada, yang ada hanya kekosongan yang disebut awang uwung. Dari kosong ini muncul tiga Batara yaitu Batara Kersa, Batara Kawasa dan Batara Bima Mahakarana (tekad, lampah, ucap). Ketiganya menyatu menjadi Batara Tunggal. Batara Tunggal dapat kita baca sebagai Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa.
Di zaman Pra Hindu di Sunda setiap kampung yang terdiri dari kesatuan tiga kampung (di Jawa terdiri dari 5 kampung) yaitu Kampung Resi, Ratu dan Rama. Kampung Resi mengurusi adat istiadat, kampung Ratu mengurusi pemerintahan, sedang Kampung Rama (rakyat) mengurusi keamanan kampung. Di Baduy ada kampung Cikeusik yang berada jauh di pedalaman, menguasai adat istiadat Sunda Lama. Cikertawana mengurusi pemerintahan dan Cibeo mengurusi hubungan dengan luar dan penjaga keamanan ketiga kampung.
Di kampung yang mengurusi adat istiadat Sunda terdapat apa yang disebut kabuyutan. Buyut adalah terlarang. Tidak setiap orang boleh memasukinya. Kabuyutan dipola tiga, yaitu tekad, ucap dan lampah. Kabuyutan harus ada mata airnya, sebagai lambang langit yang menurunkan hujan bagi masyarakat Sunda yang hidup berladang (tanaman padi kering). Harus ada hutan (pohon tinggi besar) lambang bumi dan ada artefak batu yang bermakna lampah, ucap tekad atau Sanghyang Hurip alias Tuhan. Dengan demikian kabuyutan adalah daerah sakral-suci karena Tuhan hadir di situ. Tempat angker karena kesuciannya atau penuh daya ilahiyah (tekad, ucap, lampah).
Tekad adalah langit yang bersifat perempuan karena menurunkan hujan kesuburan, hutan adalah bumi sumber kehidupan manusia. Ucap adalah dunia manusia dan bumi adalah tanah pertanian yang bersifat laki-laki. Di Jawa justru bumi bersifat perempuan (mata air untuk sawah). Jadi secara semesta pola tiga terdiri dari langit, bumi dan manusia. Secara jagad kecil adalah manusia dengan tekad, ucap, lampahnya, dan secara metafisika adalah daya tekad atau kehendak, ucap atau pikiran, dan lampah atau tenaga.
Urutan tekad, ucap, lampah untuk manusia pada umumnya. Semua keinginan harus dipikirkan bagaimana dicapainya nanti. Bagi orang suci urutannya tekad, lambah, ucap. Semua keinginan langsung menjadi kenyataan. Bagi Tuhan berlaku lampah, ucap, tekad, pikiran dan keinginan Tuhan itu ada lampah atau tindakannya yaitu alam semesta dan wahyunya lewat para nabi atau utusannya.
Dengan demikian tempat hadirnya Tuhan di kabuyutan ditandai lambang tekad Tuhan, ucap Tuhan dan lampah Tuhan. Dalam kabuyutan lambang tekad adalah batu perempuan berupa batu bulat atau pipih segitiga atau batu pendek. Kebalikannya lambang Lampah berupa batu laki-laki yang berupa batu berdiri yang lebih panjang atau tinggi. Sedang ucap atau pikiran diwujudkan dalam kesatuan pasangan batu laki-laki yang tinggi dan batu perempuan yang lebih pendek hingga mirip kuburan batu nisan Islam. Itulah yang disangka kuburan tokoh Islam di daerah itu. Ya tentu saja bukan kuburan. Tetapi karena bentuknya yang nisan orang Islam, maka dikira kuburan tokoh Islam yang terkenal di daerahnya. Di kabuyutan Karang Kamulyan Ciamis batu di kebuyutan itu dikira makam Adipati Panaikan dan di Kawali bentuk nisan yang sama dikira kuburan Pangeran Usman.
Tentu saja bukan kuburan tetapi bagian dari kabuyutan. Saya pernah tak boleh lagi membawa mahasiswa saya ke kabuyutan Ciwidey karena saya menjelaskannya bukan kuburan tetapi rangkaian tiga situs yang menggambarkan filosofi Sunda Tekad Ucap dan Lampah.