GURU : DIGUGU DAN DITIRU

Salah satu profesi luhur yang berperan dalam kehidupan adalah guru yang mengajari kita bagaimana membaca, menulis, menghitung, dan menghafal dengan baik serta membantu kita bagaimana berusaha, berteman, dan bekerja-sama dengan benar. Di samping itu, guru juga menolong kita bagaimana percaya kepada Tuhan dan berdoa dengan kudus. Maka, guru adalah panggilan mulia dengan tanggungjawab bukan hanya agar anak-anak atau orang muda menjadi lebih tahu secara intelektual, lebih mampu secara praktis dan teknis, tetapi juga dapat lebih menjadi diri sendiri secara mental dan moral serta menjadi lebih bisa hidup bersama secara sosial dan lebih percaya kepada Tuhan secara spiritual. Guru menolong kita menjadi makin manusiawi, yaitu hidup sesuai dengan martabatnya dan kian ilahi, yaitu tampil sebagai citra Allah. Itulah tuntutan sekaligus harapan yang harus ada dalam diri seorang guru sehingga ia patut digugu, yaitu dipercaya dan ditiru, yaitu diikuti.

Di samping kehidupan di bangku pendidikan formal atau informal bahkan non formal, seorang guru sejati harus tampil sedemikian rupa hingga menjadi pribadi yang patut digugu dan ditiru di mana pun dia berada dengan keutamaan intelektual, praktis dan teknis, mental dan moral, serta sosial dan spiritual. Ia juga seorang manusia yang mempunyai kehidupan pribadi di rumahnya entah ia sebagai anak dalam rumah tangga jika belum berkeluarga atau telah menjadi orang tua dalam sebuah keluarga. Di sana ada tuntutan dan tanggungjawab juga yang harus dipenuhi  sebagai bagian dari anggota keluarga tertentu hingga bukan hanya di sekolah ia digugu dan ditiru, tetapi bagaimana di rumah dan di mana pun ia tampil sebagai pribadi yang pantas didengarkan dan diteladani.

Yesus pernah ditanya oleh seseorang dengan sapaan “Guru yang baik.” Orang itu menyapa Yesus sebagai pribadi yang pantas dipercaya dan diikuti. “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mrk 10: 17) Hidup kekal, yaitu hidup sejahtera di bumi dan selamat di surga sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan apapun. Itulah yang terungkap dalam pepatah Latin “Non scholae sed vitae”. Kita sekolah bukan untuk mendapat nilai dan memperoleh gelar atau pengetahuan dan keahlian saja, tetapi juga agar kita menjadi manusia yang damai dan sejahtera; yang selamat dan hidup.

Sapaan “Guru yang baik” terjadi setelah Yesus didatangi oleh anak-anak dan menerima anak-anak dengan penuh kasih (Mrk 10: 13-16). Para murid Yesus menegur orang tua yang membawa anak-anak, tetapi para murid justru dimarahi oleh Yesus yang berperan sebagai guru. “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Mrk 10: 14) Pada waktu itu Yesus melakukan tiga tindakan yang patut bagi seorang guru (Katolik): “Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.” (Mrk 10:16). Dengan memeluk anak, Yesus menjadikan anak-anak sebagai bagian dari hidup-Nya; hidup dan matinya anak adalah hidup dan matiNya hingga bagaimana anak-anak diberi bekal agar bisa hidup sejahtera. Dengan menumpangkan tangan, Yesus memberi otoritas intelektual, moral, dan spiritual sehingga anak dapat tumbuh dewasa bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis, moral, dan spiritual. Dengan memberkati, Yesus menguduskan anak dan mendekatkan anak pada Allah. Bagaimana mungkin seorang memeluk, kalau ia tidak memiliki keutamaan untuk mengasihi orang lain dan bertangungjawab atas hidup sesamanya? Bagaimana mungkin seorang menumpangkan tangan kalau ia tak memiliki pengetahuan intelektual, kematangan moral, dan kedalaman spiritual yang bisa diwariskan kepada anak-anak? Bagaimana mungkin seorang memberkati, kalau ia takmemiliki relasi yang dekat dengan Allah?

Gereja sepantasnya memberi pelayanan kepada guru Katolik di mana pun karyanya untuk meningkatkan kemampuan dan kemahiran para guru dalam “memeluk, menumpang-tangan, dan memberkati” sebagaimana yang dimaksud oleh Yesus. Tiga tindakan Yesus tersebut bisa dipandang sebagai salah satu perspektif spiritualitas seorang guru di lembaga pendidikan apapun baik Katolik maupun Non Katolik. 

Kalau demikian besar tuntutan dan harapan pada pribadi dan profesi guru, sudah sepantasnyalah semua pihak yang berwenang, termasuk Gereja Katolik memberi perhatian yang baik untuk para guru. Salah satu karya pelayanan Gereja adalah pendidikan bermutu yang tanpa peran dan kehadiran guru yang baik (sejati) menjadi tidak mungkin. Gereja dipanggil untuk memberi perhatian kepada guru karena pendidikan diyakini bukan hanya sebagai jalan pengetahuan saja hingga para siswa menjadi lebih unggul secara intelektual dan makin berilmu, tetapi juga sebagai jalan kedewaan hingga para siswa kelak menjadi lebih luhur secara moral dan makin berkarakter. Pembekalan di bidang ilmu, pelatihan di bidang teknis-praktis, pendadaran di bidang mental dan moral, serta pembinaan di bidang sosial dan spiritual perlu diupayakan juga oleh Gereja baik secara langsung maupun tak langsung. Kita sepantasnya tidak membedakan guru Katolik yang mengajar di sekolah Katolik dengan yang berkarya di lembaga pendidikan non-Katolik. Yang jelas semuanya adalah guru Katolik yang patut mendapat perhatian dan pelayanan yang sama untuk meningkatkan kualitas guru sesuai dengan tuntutan dan harapannya.

Kalau ternyata sekarang dirasa, kurangnya perhatian dan pembinaan bagi para guru yang mengajar di sekolah non-Katolik, padahal tuntutan dan harapannya berbeda dengan mereka yang mengajar di lembaga pendidikan Katolik bahkan kadang dituntut lebih tinggi, kini saatnya Gereja memberi pelayanan dalam peningkatan kualitas guru tersebut hingga mereka sungguh bisa digugu dan ditiru di mana pun. Komisi pendidikan bisa lebih terlibat dalam perhatian dan pelayanan kepada para guru. Komisi pendidikan bisa lebih bersifat pastoral, daripada managerial keorganisasian. Komisi Kerawan juga bisa terlibat di sini kalau dipandang bahwa guru Katolik di lembaga pendidikan non katolik adalah gerakan kaum awam dalam mewartakan Kristus di tengah dunia.

Kalau guru dituntut untuk menjadi pribadi yang digugu dan ditiru sepantasnya kita turut terlibat untuk meningkatkan kualitas orang yang agar sungguh dipercaya, didengarkan, diteladani, dan diikuti oleh anak-cucu kita; generasi masa depan keluarga, Gereja, dan bangsa.***

Ut diligatis invicem,

+ Antonius Subianto B OSC