Ebed Yahweh

Yesaya 42-53

RD. R.F. Bhanu Viktorahadi

(Pengajar Kuliah Tafsir Kitab Suci di Fakultas Filsafat Unpar)

Dalam dinamika kehidupan saat ini, tentu tidak gampang untuk senantiasa berposisi sebagai pelayan atau hamba. Arus deras kehidupan hari ini ini justru mengajak, bahkan mendorong-dorong manusia untuk menjadi tuan atas dirinya sendiri dan kehidupannya. Manusia bahkan kerap membaca dan memaknai dorongan itu sebagai tuntutan untuk menjadi tuan atas segalanya, termasuk atas orang-orang lain yang hidup bersamanya. Kesadaran dan ajakan untuk melayani sesama dalam semangat seorang hamba seringkali hanya dimaknai sebagai wacana usang. Padahal, walaupun dinamika arus kehidupan terus berganti, ajakan menjadi seorang hamba-pelayan ini senantiasa masih dan akan terus relevan, terutama untuk menangkal potensi mengembangnya individualisme serta egoisme yang bertumbuh dan berkembang dalam diri manusia. Hari ini keduanya menjadi akar pelbagai macam konflik antar-individu dengan segala cabang ranting, dan dahan permasalahannya.

Pelayan-hamba

Untuk menghangatkan kembali serta menumbuhkan semangat pelayan-hamba, Deutero-Yesaya (Yesaya 40-55) menawarkan sosok ‘Ebed’ atau ‘Hamba Yahweh’. Gambaran sosok Hamba Yahweh terlohat benderang dalam teks Yesaya 42:1-7; 49:1-6; 50:4-9; dan 52:13-53:12. Keempat teks itu menggambarkan sosok dan identitas ‘Hamba Yahweh’ sebagai figur pelayan-hamba. Hamba-pelayan itu tabah dalam melaksanakan tugasnya walaupun harus menghadapi penderitaan yang sedemikian berat.

Secara variatif, teks-teks tersebut menggambarkan ‘Hamba Yahweh’ sebagai seorang tokoh misterius. Sosok misterius itu secara khusus dipilih Allah. Tidak sampai di situ. Allah tidak hanya memilih dan menunjuk, kepada tokoh itu Allah juga mencurahkan Roh-Nya sendiri. Salah satu teks menggambarkan tindakan tersebut.

Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa” (Yesaya 42:1).

Allah memilih, menunjuk, mencurahkan Roh-Nya, dan mengutus pribadi semacam ini pada saat orang-orang Yahudi mengalami pembuangan di Babel. Di tanah pembuangan inilah tokoh terpilih itu menghadapi orang-orang yang kecewa, putus asa, dan mulai meragukan segala janji Allah. Mereka adalah orang-orang yang putus harapan. Dalam kondisi yang sedang terpuruk akibat kemerosotan hidup dan moral serta ketidaksetiaan Bangsa Israel kepada Perjanjian, Allah mengutus dan memberi tugas kepada Hamba Yahweh untuk menyelamatkan Bangsa Israel. Selain itu, kepada Hamba Yahweh itu Allah juga sekaligus menunjukkan supaya menjadi terang bagi bangsa-bangsa.

Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa” (Yesaya 42:6-7).

Pembuangan Babel (568-538 SM) menjadi titik balik dalam aktivitas pewartaan kenabian. Ke tengah-tengah dinamika pembuangan itu, Allah mengutus dua nabi. Pertama, Nabi Yehezkiel. Kedua, Nabi Deutero-Yesaya. Akan tetapi, dalam perjalanan pelaksanaan tugasnya Nabi Yehezkiel menemui dirinya berada di persimpangan jalan. Sebelum Kerajaan Yehuda atau Kerajaan Selatan hancur lebur pada 586 SM, Nabi Yehezkiel sering tampil sebagai nabi yang mewartakan murka Allah. Akan tetapi, setelah runtuhnya Yerusalem, nubuat Nabi Yehezkiel berubah. Sejak titik itu, Nabi Yehezkiel tidak lagi menyampaikan kemurkaan Allah. Sebaliknya, ia justru mewartakan kerahiman Allah. Perubahan ini terjadi atas alasan bahwa hukuman sebagai ungkapan murka Allah yang diwartakan para nabi sebelum pembuangan telah tergenapi. Bangsa Israel sudah mengalami hukuman itu dalam wujud penderitaan yang sangat berat di Babel.

Sesudah Nabi Yehezkiel, tampillah seorang nabi besar lain di pembuangan. Ia adalah Nabi Deutero-Yesaya. Pewartaannya tidak disatukan dalam sebuah kumpulan buku tersendiri. Pewartaannya digabungkan dengan pewartaan Nabi Yesaya dari abad VIII SM (Yesaya 1-39) sehingga menjadi Yesaya 40-55. Nabi Deutero-Yesaya tampil beraktivitas pada periode runtuh dan hancurnya tembok Kota Yerusalem sampai dengan pembuangan ke Babel pada periode kekuasaan Raja Nebukadnezar (587 SM). Pada saat itu, Kerajaan Yehuda hanya menjadi salah satu bagian kecil dari Provinsi Babel yang meraksasa. Sekelompok besar penduduk Yerusalem diangkut ke Babel. Mereka digabungkan dengan kelompok lainnya yang telah diangkut pada 597 SM. Dinamika hidup kelompok yang tinggal di pembuangan ini bisa dilihat di dalam teks Yehezkiel 8:1; 12:21-20; 14:5; 20:1.

Berbasiskan Firman Allah

Pengalaman Nabi Deutero-Yesaya berbeda dengan Yehezkiel. Nabi ini harus menegaskan bahwa Bangsa Israel harus memercayai Firman Allah. menurutnya, Firman Allah adalah sesuatu yang kekal. Kondisinya berbanding terbalik dengan kejayaan Bangsa Israel yang lantas remuk redam.

Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap selama-lamanya” (Yesaya 40:8). Sekali berjanji, Allah akan setia pada janji-janji-Nya. Ditegaskan pula bahwa firman yang keluar dari mulut Allah itu bekerja secara efektif. “Tidak akan kembali kepada Allah dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan segala yang dikehendaki-Nya dan akan berhasil dalam segala yang diperintahkan-Nya kepadanya” (Yesaya 55:11).

Firman itu bagaikan hujan atau salju yang deras meluncur deras ke bumi. Sebagaimana hujan yang meluncur deras, firman itu pasti akan menyuburkan tanah yang dilewatinya. Firman itu juga sekaligus menjadi utusan Allah yang setia. Utusan setia itu pasti mampu melaksanakan tugasnya. Terkait kualitas firman itu, Kitab Suci Perjanjian Baru juga memuat sejumlah pernyataan menarik tentang firman Allah. Firman tersebut memiliki kuasa membangun dan mewariskan janji Allah kepada orang yang percaya (Kisah para Rasul 20:32). Firman itu pun berkuasa menyelamatkan manusia (Yakobus 1:18.21). Firman itu bagaikan benih yang kekal abadi. Benih itu telah membuat manusia lahir kembali (1Petrus 1:23).

Bagi yang percaya, Firman Allah itu sedemikian tangguh.

Firman itu hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibrani 4:12). Sayangnya, mungkin karena situasi hidup yang sedemikian sulit, orang-orang buangan tidak mau memercayai kata-kata dan ajakan Nabi Deutero-Yesaya. Akibatnya, dilanda rasa pilu yang besar, nabi ini terpaksa menyampaikan keluhannya. “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” (Yesaya 53:1).

Dari dinamika situasi semacam itulah muncul sosok Hamba Yahweh. Ia dengan sekuat tenaga mengembalikan kepercayaan orang-orang buangan kepada firman Allah. Upaya Hamba Yahweh itu harus dilaksanakan dengan susah payah, bahkan sampai harus mengalami penderitaan.