Yang akan dikupas adalah cerita rakyat Sunda yang amat terkenal yaitu cerita Si Kabayan. Cerita ini dikenal karena merupakan cerita lucu humoristik yang dilakukan tokoh utamanya yaitu Si Kabayan. Begitu mendengar tentang Kabayan maka kita mengharapkan cerita penuh kelucuan akibat kebodohan tokohnya atau sebaliknya, yaitu kecerdasan tokohnya. Si Kabayan adalah cerita rakyat paradoks, tokoh yang dikatakan “pintar-bodoh”. Nanti akan kita ketahui bahwa Si Kabayan sangat bodoh kalau berada di wilayah spiritualitas terapi sebaliknya dia amat cerdas di wilayah duniawi. Jadi Si Kabayan menggambarkan diri manusia yang sangat menguasai hal-hal kebutuhan material manusia, tetapi amat bodoh soal rohaniah keagamaan.
Si Kabayan sering diangkat sebagai cerita film dan amat laku kebodohannya yang meliputi hal-hal duniawi, yaitu kelucuan orang kampung yang masuk kota besar dan terheran-heran ada orang kurus naik lift, setelah beberapa lama lift terbuka dan muncul orang yang gembrot. Cerita kesenjangan budaya ini menimbulkan banyak kelucuan akibat cara berpikir dan pengalaman yang berbeda antara orang kampung tradisional dengan orang metropolitan.
Saya menduga cerita-cerita ini muncul pada masa perkembangan agama Islam di Jawa Barat dan terus berkembang sampai sekarang di kalangan kaum terpelajarnya. Cerita ini mirip sekali dengan cerita Abu Nawas atau Koja Nassaruddin, keduanya itu tokoh mirip Si Kabayan, hanya lebih banyak cerita cerdasnya daripada kebodohannya. Abu Nawas dan Koja Nassaruddin muncul di zaman keemasan budaya Islam di Baghdad. Sarjana Belanda Snuck Hurgronje pernah mengumpulkan ratusan Cerita Si Kabayan di daerah Banten. Tentu saja ia mudah melakukannya dengan melalui jalur pemerintahan (resident) dengan perintah pada para kepala desa untuk melaporkan adanya cerita-cerita Si Kabayan di daerah mereka. Cerita yang terkumpul seluruhnya dalam bahasa Sunda Banten.
Cerita-cerita itu, menurut C. Hooykaas, tokoh-tokohnya masih banyak nama bukan Kabayan tetapi ada Bapa Leco, Bapa Lucung, si Kidul, Ahli Nujum, Nujum Sangsara dan si Buta Tuli. Nama-nama itu sudah tenggelam di bawah nama Si Kabayan. Nama si Buta Tuli menunjukkan wilayah kerohaniannya yaitu orang yang “mati” keduniawiannya atau dunia materialnya dan lebih masuk wilayah rohani atau spiritual.
Dapat diduga cerita-cerita mirip Abu Nawas dan Koja Nassarudin yang berkembang di masa kejayaan Baghdad (Abbasiyah), di Indonesia berkembang di pesantren-pesantren yang mengembangkan tasawuf atau mistisisme. Menurut penilikan beberapa sarjana, berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa dan Sumatera melalui mistisisme yang mereka akrabi pada masa-masa kejayaan budaya Hindu-Budha dan masa Pra Hindu.
Mistisisme dan tasawuf dimulai dengan “jalan tobat” untuk menuju Tuhan selama di dunia ini. Itulah “jalan pulang” dengan penyesalan atas dosa-dosanya dan tak akan mengulanginya lagi, senantiasa eling atau ingat Tuhan, rajin puasa dan pantang, membatasi pergaulan dan lain-lain. Kalau berhasil ia akan memperoleh pencerahan bahwa semuanya dari Tuhan, kaya atau miskin diterima sama, dipuja dan dicaci sama saja, sehingga makin dekat dengan Tuhan. Dan akhirnya menyatu dengan Tuhan yang merupakan pengalaman transenden yang tak dapat dikatakan apa dan diuraikan bagaimananya.
Kebodohan spiritual Kabayan antara lain terdapat di cerita berikut. Kabayan disuruh neneknya mencari siput sawah. Sesampainya di tengah sawah ia ketakutan karena melihat bayangan langit yang biru di bentangan sawah berair menjelang ditanami. Ia ia mengira bentangan sawah itu amat dalam airnya. Karena takut ia diam saja di tepi sawah sampai disusul neneknya karena Kabayan amat lama cari siput. Ketika tahu bahwa Kabayan ketakutan masuk sawah karena kedalaman airnya, maka nenek tertawa sambil memasukkan kakinya ke sawah. Tentu saja airnya dangkal. Kabayan tak dapat membedakan langit yang tinggi dan bayangannya di sawah. Tuhan ada di kedalaman hatimu sekaligus Ia di sorga yang amat tinggi.
Mirip dengan itu adalah cerita Kabayan membuang majikan. Waktu ia mau kerja di rumah majikan perempuan, di tengah jalan menjumpai mayat perempuan yang sudah meninggal. Kabayan mengira perempuan itu berbaring di jalan. Dan mayat dalam kondisi tersenyum dan kemanapun Kabayan berpindah tempat perempuan selalu menatapnya. Kabayan mengira perempuan itu jatuh cinta padanya, lalu diangkat dan diciumnya mayat perempuan itu, tapi baunya busuk dikira tak merawat diri, maka dibuangnya mayat itu ke tepi jalan. Ketika tiba di rumah majikan perempuannya tiba-tiba ditegur dan Kabayan bercerita ketemu perempuan di jalan yang tersenyum padanya tetapi bau tubuhnya busuk lalu dibuangnya. “Bodoh kamu Kabayan perempuan itu sudah meninggal, buang saja!”. Seketika itu juga majikan kentut dan berbau busuk. Kabayan segera membopong majikannya untuk dibuang di tempat sampah. Kabayan tak dapat membedakan orang hidup dan mati.
Kebodohan lain di masa puasa. Ketika kerja di sawah Kabayan seorang diri. Mengira tak ada orang Kabayan merokok. Tiba-tiba tetangganya, Ki Silah muncul. Kabayan gugup dan menyembunyikan rokok yang sudah dinyalakan itu di balik pecinya. “Kabayan Mengapa pecimu terbakar?”. “Wah saya lupa mematikan waktu sahur tadi”.
Bodoh spiritual yang lain. Kabayan kedapatan oleh Ki Silah sedang menangis sambil menenteng baju baru. “Mengapa menangis Kabayan, kan dapat baju baru?”. Jawab Kabayan : “justru baju baru ini membuat saya sedih karena ia akan jadi lusuh dan rusak di kemudian hari.” Itulah sebabnya kita semua menangis waktu lahir. Seperti Kabayan yang takut bajunya rusak di kemudian hari, begitu juga rata-rata manusia menangisi kematiannya.
Kalau Kabayan bodoh secara spiritual, sebaliknya ia cerdas dalam tindak kesalahan. Contohnya waktu Kabayan tidur siang dibangunkan oleh ayah mertuanya untuk memetik buah nangka yang matang di pohon. Setengah mengantuk ia memetik buah nangka itu lalu dibiarkan tergeletak di kebun dan Kabayan pulang langsung tidur lagi. Ayah mertuanya bertanya “mana nangkanya Kabayan?”. “Ah tunggu saja. ia kan udah tua, masa nggak tahu jalan pulang ke rumah!”. Buru-buru mertuanya ke Kebun takut nangka diambil orang.
Dan masih banyak cerita Kabayan yang menggambarkan betapa bodohnya dalam hal-hal menyangkut spiritual, dan betapa lihainya ia menutupi kemalasan dan kesalahannya.