Adorasi Sakramen Mahakudus dan Tahun Doa 2024


Apakah orang Katolik masih berdoa harian? Bukan Doa Ofisi atau Ibadat Harian yang biasa didoakan oleh para Rohaniwan/wati. Tetapi doa sehari-hari yang diungkapkan setiap hari pada setiap kesempatan. Mungkin tidak perlu diragukan. Doa ritual liturgi Ekaristi mingguan pun pasti masih rajin dilaksanakan. Tapi apakah melakukan Adorasi Sakramen Mahakudus? Sepertinya ragu dan susah menjawabnya. Padahal Adorasi Sakramen Mahakudus ini adalah jenis doa yang paling dahsyat. Kalau bukan jenis doa yang paling kita butuhkan sekarang ini, juga jenis doa yang menegaskan identitas Kekatolikan. Hanya orang Katolik yang bisa berdoa Adorasi Sakramen Mahakudus karena 'Lex credendi, lex orandi' (tata iman mengandaikan tata doa) terekspresikan dalam jenis doa ini.

Tahun 2024 ditentukan menjadi “Tahun Doa”. Paus Fransiskus mendedikasikan sepanjang tahun ini sebagai sebuah “Simfoni Agung”. Sehingga dari seluruh ujung bumi secara personal dan komunal mendengungkan doa sesuai dengan peredaran waktu masing-masing. Di semesta ini akan membahana doa. Doa yang mewarnai bumi dengan keilahian. Sebuah gema akbar yang tak mengenal lelah untuk menyongsong Tahun 2025 sebagai tahun Yubileum. Paus menamainya tahun ini dengan nama “Ziarah Harapan”. Kalau kita masih ingat, seperti tahun 2000 yang lalu Gereja Katolik melakukannya untuk menyongsong milenium ke-3. Karenanya setelah 25 tahun getaran gema itu harus kembali membahana. Bukan dengan 'pesta pora', perayaan-perayaan spektakular yang gegap gempita, tetapi dengan doa yang sederhana dan personal, tulus dan jujur. Bila ada tindakan yang bersifat karitatifpun itu akan mengusung kelemahlembutan hati, belas kasih dan menciptakan pengalaman pertemuan secara pesonal dengan sesama dan dengan yang ilahi.

Simfoni Agung yang ilahiah itu seperti suatu ikhtiar manusiawi untuk menurunkan surga ke dunia ini. Atau menciptakan kefanaan ini menjadi baka. Seperti tersurat dalam doa harian Doa Bapa kami; “Datanglah Kerajaan-Mu... di bumi seperti di dalam surga”. Suatu doa yang sarat dengan makna. Paus Fransiskus hendak menggarisbawahi Kerajaan Allah itu baru akan terwujud di dunia ini bila kita mampu menciptakan pengalaman perjumpaan yang tulus, jujur dan benar dengan sesama dan Allah. Ada kelemahan - kalau bukan disebut kegagalan - yang mencemaskan dan nyaris kehilangan harapan untuk menciptakan dunia ini menjadi Kerajaan Allah. Kegagalan itu yakni kita abai akan 'berjumpa' dengan sesama dan Allah. Doa menjadi taruhannya. Pengalaman perjumpaan dengan sesama dan Allah itu ada dalam pengalaman doa itu sendiri. Menyatunya hati, jiwa dan raga (Kis 4:32) bukan hanya secara individual tetapi juga dengan sendirinya secara 'komunal-universal'. Bila semua melambungkannya sebagai sebuah simfoni.

Jenis doa yang paling menjadi pilihan utama pada Tahun Doa ini yakni Adorasi Sakramen Mahakudus. Doa adorasi. Jenis doa dalam pengertian yang sesungguhnya. Yaitu sembahyang. Suatu aktivitas penyembahan (adorare). Menyembah dan memuliakan serentak bersujud penuh syukur. “Berdoa dalam roh dan kebenaran” (Yoh 4: 23-24). Penyembahan menjadi primer dan permohonan sekunder.

Seperti Santo Thomas Aquinas ajarkan tentang tiga lapis makna Ekaristi; sebagai “Kurban” (Sacrificium), sebagai “Komunio” (Communio) dan sebagai “Kehadiran nyata” (Realis presentia). Secara populer lagu-lagu ciptaan Aquinas ini; “O Salutaris Hostia” menyenandungkan makna kurban Kristus yang menyelamatkan. “Panis Angelicus” yang menggarisbawahi 'roti para malaikat' atau komuni kudus yang menyatuleburkan kemanusiawian dengan keilahian. “Tantum ergo Sacramentum” yang hendak menggambarkan Sang Sabda yang menjadi manusia yang kini berwujud Hosti Kudus itu hadir secara gamblang di hadapan kita. Yang Illahi itu berwujud hosti, tetapi substansinya adalah Allah Tritunggal (transsubstantiatio). Wujud yang melampaui nalar manusia. Karenanya kita hanya bisa bersujud pasrah untuk menerimanya. Istilah “Emmanuel”; Allah beserta kita, secara konkrit ada wadahnya di hadapan kita dalam wujud Sakramen Mahakudus. Aquinas menambahkan: tidak akan ada 'kurban' tanpa 'kehadiran nyata', demikian juga tidak ada komunio tanpa ada 'kehadiran nyata'.

Keyakinan mendalam dan teguh akan 'kehadiran nyata' dalam wujud hosti yang dikonsekrir oleh imam itu merupakan unsur paling hakiki dalam Adorasi Sakramen Mahakudus. Adorasi atau 'penyembahan' pada Sakramen ini menjadi titik api iman Katolik. Bukan sekadar menghormati. Bukan sekadar memberi pengakuan dan pemahaman simbolisme saja. Sakramen itu bukan simbol kehadiran Allah. Tapi 'itu' adalah Allah. Allah Tritunggal hadir dalam wujud hosti itu. Seperti itu. “Bagaimana mungkin?” Itu pertanyaan orang yang bukan Katolik.

Santo Agustinus memberi peneguhan tentang pentingnya sembah sujud ini. Katanya: “Tak seorangpun boleh menyantap Tubuh Kristus tanpa terlebih dahulu menyembah-Nya... kita tidak berdosa bila menyembah-Nya, sebaliknya kita berdosa bila tidak menyembah-Nya” (dikutip dalam/oleh Mediator Dei 129-130). Agustinus hendak menegaskan pentingnya 'sembah sujud', nama lain dari Adorasi Sakramen Mahakudus. Tentu adorasi ini tidak hanya pada waktu Perayaan Ekaristi berlangsung. Tetapi juga dan pertama-tama di luar upacara perayaan.

Paus Paulus VI dalam Mysterium Fidei sangat menganjurkan dengan agak memaksa kepada kita untuk selalu 'mengunjungi' sambil bersembah sujud penuh khidmat dan cinta bakti pada Sakramen Mahakudus. Di luar misa. Kesalehan seorang Katolik tampak dalam semangat penuh kesungguhan dalam bentuk devosi ini.

Pertanyaan Adorasi Sakramen Mahakudus secara pribadi itu seperti apa? Adorasi yang bersama-sama dengan ritus yang baku tentu sudah jelas. Adorasi secara pribadi itu sesuai dengan berbagai sebutannya seperti “Doa hening”, “Doa tatapan”, “Doa kontemplasi”, “Doa kunjungan Sakramen Mahakudus“ dan ada juga yang manamai dalam bahasa Jawa “Sowan Gusti”. Dari sebutan-sebutannya tersirat karakter dasar dari adorasi secara pribadi itu. Doa sendirian -mungkin juga ada banyak orang di sana - di hadapan Sakramen Mahakudus. Bisa jadi sudah ditahtakan di atas altar oleh imam, bisa juga hanya tersimpan dalam Tabernakel. Di sana hanya diam. Tidak berkata-kata. Tidak membaca Kitab Suci, tidak mendaras Rosario. Diam meski terdengar bisikan suara keheningan (The Sound of Silence). Seperti kata Samuel, “Bersabdalah ya Tuhan, hamba-Mu mendengarkan” (1 Sam 3:9). Hakikat doa pertama-tama mendengarkan. Bukan berkata-kata. Seperti kata Yesus kepada Marta, “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara...Maria telah memilih bagian yang terbaik” (Lk 10:42). Diam tertunduk dengan mata terpejam namun hati penuh kepasrahan. “Aku tak berdaya untuk berkata-kata, lidahku kelu berada di hadirat-Mu”. Sebutan 'Doa tatapan' semakna dengan 'Doa kontemplasi'. Memandang, bukan sekadar melihat atau menatap secara indrawi. Memandang dalam-dalam dengan mata batin. Bukan Seeing is believing, tetapi Believing is seeing. Mata iman bukan mata indra. Mata iman yang dapat memandang. Mata iman memiliki logika persepsinya sendiri yang nyaris panca indra tidak mampu 'memahaminya'. Seperti Tantum Ergo lagunya Aquinas. Bersujud memandang penuh 'cinta-bakti' dengan rasa kagum akan kemuliaan Illahi, itu prasyarat dasar dari religiositas seseorang. Seperti Yesus menyapa Bartimeus,”Apa yang engkau kehendaki agar Aku perbuat padamu?” Jawab Bartimeus, “Rabuni, agar aku dapat melihat” (Mk 10: 51-52).

Adorasi Sakramen Mahakudus itu jenis doa yang paling sederhana dan mudah. Kita hanya datang ke gereja atau kapel untuk diam sesaat dari kesibukan rutin kita sehari-hari dan memfokuskan diri dari hidup yang berantakan tak menentu dengan memandang sebentar yang illahi di atas altar atau dalam tabernakel. Yang harus dibawa ke sana hanya niat dan kesungguhan. Beban di pundak dan kepahitan di tangan kiri-kanan boleh dibawa untuk diletakkan di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa. Hanya diam sambil memandang dalam-dalam.***


RD. Fabie Sebastian. H