TIGA RITUS YANG DIUCAPKAN BERSAMA-SAMA IMAM DAN UMAT DALAM MISA

Karya penebusan Kristus dapat terlaksana melalui perayaan Liturgi terutama dalam korban ilahi Ekaristi. Perayaan Ekaristi diharapkan membantu umat beriman untuk menghayati misteri Kristus dan hakikat asli Gereja yang sejati. Maka, keterlibatan aktif umat beriman dalam Misa terus menerus diperhatikan. Tujuannya adalah agar mereka sungguh-sungguh merasakan dipersatukan dengan Allah melalui peran mereka masing-masing yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah Liturgi yang berlaku. Perayaan liturgi menjadikan perayaan Gereja sebagai “sakramen kesatuan” yang menyangkut seluruh Tubuh Gereja berdasarkan keanekaragaman tingkatan, tugas, serta keikutsertaan umat beriman sendiri (bdk. Sacrosanctum Concilium atau SC 2, 25, dan 28). Oleh karena itu, dalam kolom liturgi kali ini, kita akan memilih tiga ritus dalam Misa yang menampilkan dimensi kesatuan imam dengan umat. Kesatuan tersebut secara eksplisit tertulis baik dalam rubrik Missale Romanum atau MR 2008 maupun dalam Pedoman Umum Misale Romawi atau PUMR, meskipun sering diabaikan dalam praktiknya. Ketiga ritus tersebut adalah Ritus Tobat, Syahadat, dan Bapa Kami.

Confiteor 

Ritus yang pertama adalah Ritus Tobat tetapi secara khusus bagian Confiteor (saya mengaku). Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2005 versi bahasa Indonesia sebenarnya menyediakan banyak pilihan untuk Ritus Tobat ini. Ada sekitar 14 pilihan yang terdiri dari Tobat cara 1 (satu pilihan); Tobat cara 2 (empat pilihan); Tobat cara 3 (lima pilihan) dan Tobat cara 4 (empat pilihan) yakni peringatan pembaptisan. Hanya Tobat cara 1 dan 2 yang masih memerlukan “Tuhan, kasihanilah” sedangkan untuk Tobat cara 3 dan 4 tidak dilanjutkan dengan “Tuhan, kasihanilah” lagi. Kalau TPE 2005 menyediakan banyak pilihan, MR 2008 versi aslinya sebenarnya hanya menampilkan 3 rumusan untuk Ritus Tobat dan salah satunya adalah rumusan Confiteor. 

Ritus ini berasal dari ritus Sakramen penitensial (Sakramen Tobat) yang telah dipakai pada akhir abad IX. Akan tetapi, Confiteor yang digunakan dalam Sakramen Tobat adalah rumusan panjang dengan berbagai dosa yang dijabarkan secara detail, sedangkan Confiteor yang dipakai dalam Misa sekarang adalah rumusan yang biasa ada di biara-biara atau hidup monastik yakni rumusan singkat, umum dan berbentuk dialog bilateral. Perkembangan Confiteor berikutnya turut dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di biara-biara Kanonik, Kuria Kepausan, berbagai ordo seperti Dominikan, Karmelit, Cluniasensis dan lain-lain. Confiteor yang kita pakai sekarang memiliki dua hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni (1) keterlibatan pihak ketiga yakni saudara-saudari dan (2) imam bersama umat beriman saling membantu untuk mencapai pengampunan ilahi.

Dalam rubrik MR 2008 ditulis: “hening sejenak. Sesudah itu semua bersama-sama mengucapkan rumus pengakuan umum: {Saya mengaku kepada Allah yang mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian; saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa. Oleh sebab itu saya mohon kepada santa Perawan Maria, kepada para malaikat dan orang kudus dan kepada saudara sekalian, supaya mendoakan saya kepada Allah Tuhan kita. TPE 2005, hlm. 5}”. Jadi, Imam dan umat bersama-sama mengucapkan rumusan Confiteor dengan serentak. Yang sering terjadi adalah imam mendahului dengan kata-kata: “saya mengaku” lalu dilanjutkan dengan umat. Praktik ini perlu diperbaiki demi mewujudkan dimensi kesatuan antara imam dan umat beriman sebab yang mengaku bukan hanya imam selebran utama saja tetapi semua yang mengikuti Misa tersebut.

Credo

Ritus yang kedua adalah ritus pernyataan iman yakni Credo atau “Aku percaya”. Credo berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin yaitu credere yang berarti percaya, mengimani atau menaruh kepercayaan. Ritus ini juga dikenal dengan nama “Syahadat”. Credo atau Syahadat muncul dan digunakan sejak abad pertama sebagai bagian dari bahan pengajaran bagi para katekumen. Sebelum abad VI, Credo hanya merupakan bagian dari ritus pembaptisan, bukan bagian dari Misa, walaupun teksnya sendiri sudah ada sejak abad IV. Credo ditetapkan menjadi bagian dalam misa dilakukan sekitar awal abad X, meskipun tidak selalu digunakan dalam Misa. Pernyataan iman atau syahadat dalam Misa dilakukan agar umat yang berhimpun dapat menanggapi sabda Allah yang dimaklumkan dari Kitab Suci dan dijelaskan dalam homili. Dengan melafalkan kebenaran-kebenaran iman lewat rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgi, umat mengingat kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka merayakannya dalam Liturgi Ekaristi”(bdk. PUMR 67).

Sama seperti Confiteor, Credo juga seringkali dimulai terlebih dahulu oleh imam dengan mengucapkan “Aku percaya” kemudian dilanjutkan oleh umat. Padahal, seharusnya rumusan Credo diucapkan besama-sama oleh imam dan umat dari awal sampai akhir. Dimensi kesatuan ini menunjukkan bahwa yang percaya itu bukan hanya imam selebran saja melainkan semua umat yang hadir dalam Misa. Oleh karena itu, ada tiga alternatif ajakan yang boleh dibawakan oleh imam terlebih dahulu sehingga pada saat mendoakan Credo, imam dan umat dapat bersama-sama secara serentak megucapkannya. Ketiga ajakan tersebut adalah: “Saudara sekalian, marilah kita menanggapi sabda Tuhan dengan mengucapkan Syahadat”, atau “Saudara sekalian, marilah membarui iman kita dengan mengucapkan Syahadat”, atau “Saudara sekalian, marilah menyegarkan ikrar pembatisan kita dengan mengucapkan Syahadat” (TPE 2005 hlm. 31-33).

Oratio Dominica

Ritus yang ketiga adalah Doa Tuhan (oratio dominica) atau sering disebut dengan doa Bapa Kami. St. Sirilus dari Yerusalem dalam bukunya Mystagogical Catechesis V membuktikan bahwa doa Bapa Kami telah digunakan dalam Liturgi Ekaristi sejak akhir abad ke-4 (bdk. Edward Foley {ed.}, A Commentary on the Order of Mass of The Roman Missal, hlm. 597). Dalam doa Tuhan, yakni Bapa Kami, orang beriman mohon rezeki sehari-hari. Imam mengajak umat untuk berdoa, dan bersama-sama membawakan Bapa Kami. Kemudian imam sendiri mengucapkan embolisme, yang diakhiri oleh umat dengan doksologi (bdk. PUMR 81).

Dalam praktiknya, ada beberapa imam yang langsung mengucapkan: “Bapa kami” kemudian umat melanjutkan dengan: “yang ada di surga dan seterusnya”. Padahal, dari awal sampai akhir rumusan Bapa Kami diucapkan bersama-sama tanpa didahului oleh imam. Imam selebran utama dalam MR 2008 mengajak umat dengan kata-kata: “Atas petunjuk penyelamat kita dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa” kemudian secara serentak bersama umat mendoakan Bapa Kami.


Demikianlah ketiga ritus dipilih agar kita dapat memperbaiki praktik yang terjadi dalam Misa dengan harapan untuk mempertahankan dimensi kesatuan antara imam dengan umat beriman. Semoga ketiga ritus tersebut dapat dibawakan secara bersama-sama sehingga sanctificatio humanum (pengudusan manusia) dan glorificatio Dei (pemuliaan Allah) dalam Liturgi semakin dapat dihayati oleh semua umat beriman. Semoga!


RP. Riston Situmorang OSC

Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR

Sumber: Majalah Komunikasi, edisi 456