Mendulang Harapan di Sungai Madeira

Langit kota Humaitá sore itu di pertengahan September 2018 tiba-tiba berubah gelap. Awan hitam bergerak pelan menutup langit. Cuaca terik sepanjang hari langsung berubah ketika angin bertiup kencang merontokkan dedaunan pohon. Terdengar guntur menggelagar. Tak lama kemudian hujan pun turun. Memang, kadang terjadi hujan deras disertai angin atau badai di musim kemarau yang tengah melanda seantero Amazon, Brasil.

Hari itu saya akan bepergian ke Manicoré. Ini kunjungan terakhir saya ke sana sebelum meninggalkan bumi Amazon. Saya ingin pamitan dengan umat yang saya layani hampir setahun.

Beruntung hujan sore itu tidak berlangsung lama. Angin deras pun berangsur tenang. Saya pun bergegas ke pelabuhan sungai Humaitá. Sudah ada kesibukan di sana. Penumpang berdatangan. Masing-masing mencari tempat untuk menambatkan rede alias ayunan mereka. Sementara itu, portir pelabuhan sibuk menaikkan barang muatan.

Di antara sekian banyak penumpang saya bertemu Dom Francisco Merkel, CSSp, uskup Humaitá. Dia seorang religius dari kongregasi Roh Kudus. Dia juga ingin bepergian ke Manicoré menghadiri pesta salah satu paroki di Manicoré. Dia membaur dengan kebanyakan penumpang. Rede-nya diikatkan tidak jauh dari tempat saya. Penumpang hari itu lumayan padat.

Kapal motor Vovó Ana baru berangkat hampir pukul tujuh malam. Molor sekitar empat puluh menit dari jadwal biasanya. Itu karena banyaknya muatan yang dibawa kapal itu. Kapal penumpang seperti ini juga berfungsi sebagai pengangkut barang dagangan. Setengah jam setelah kapal bertolak, kami disuguhi makan makan malam oleh pihak kapal. Menunya hanya sup daging sapi dicampur kentang dan singkong.

“Berapa hari akan berada di Manicoré” tanya Dom Francisco di sela-sela makan malam itu.
“Mungkin dua atau tiga hari. Sekalian saya mau pamitan dengan umat di sana,” jawabku.
“Ya, tidak lama lagi engkau akan tinggalkan Humaitá. Sudah ada yang akan menggantikanmu di paroki?” tanya Dom Francisco lagi.

“Sudah ada. Pertengahan Oktober pastor pengganti saya itu sudah berada di sini.”
“Syukurlah! Ada yang menggantikanmu. Situasi akan jadi sulit kalau tidak ada pengganti. Masih sangat kurang imam-misionaris tertahbis di keuskupan kita,” keluh Dom Francisco.

Saya diam saja. Saya akan pergi meninggalkan Humaitá di saat keuskupan ini masih membutuhkan banyak imam dan misionaris.

 

Tanah Misi Brasil

Langit kota Humaitá sore itu di pertengahan September 2018 tiba-tiba berubah gelap. Awan hitam bergerak pelan menutup langit. Cuaca terik sepanjang hari langsung berubah ketika angin bertiup kencang merontokkan dedaunan pohon. Terdengar guntur menggelagar. Tak lama kemudian hujan pun turun. Memang, kadang terjadi hujan deras disertai angin atau badai di musim kemarau yang tengah melanda seantero Amazon, Brasil.

Hari itu saya akan bepergian ke Manicoré. Ini kunjungan terakhir saya ke sana sebelum meninggalkan bumi Amazon. Saya ingin pamitan dengan umat yang saya layani hampir setahun.

Beruntung hujan sore itu tidak berlangsung lama. Angin deras pun berangsur tenang. Saya pun bergegas ke pelabuhan sungai Humaitá. Sudah ada kesibukan di sana. Penumpang berdatangan. Masing-masing mencari tempat untuk menambatkan rede alias ayunan mereka. Sementara itu, portir pelabuhan sibuk menaikkan barang muatan.

Di antara sekian banyak penumpang saya bertemu Dom Francisco Merkel, CSSp, uskup Humaitá. Dia seorang religius dari kongregasi Roh Kudus. Dia juga ingin bepergian ke Manicoré menghadiri pesta salah satu paroki di Manicoré. Dia membaur dengan kebanyakan penumpang. Rede-nya diikatkan tidak jauh dari tempat saya. Penumpang hari itu lumayan padat.

Kapal motor Vovó Ana baru berangkat hampir pukul tujuh malam. Molor sekitar empat puluh menit dari jadwal biasanya. Itu karena banyaknya muatan yang dibawa kapal itu. Kapal penumpang seperti ini juga berfungsi sebagai pengangkut barang dagangan. Setengah jam setelah kapal bertolak, kami disuguhi makan makan malam oleh pihak kapal. Menunya hanya sup daging sapi dicampur kentang dan singkong.

“Berapa hari akan berada di Manicoré” tanya Dom Francisco di sela-sela makan malam itu.
“Mungkin dua atau tiga hari. Sekalian saya mau pamitan dengan umat di sana,” jawabku.
“Ya, tidak lama lagi engkau akan tinggalkan Humaitá. Sudah ada yang akan menggantikanmu di paroki?” tanya Dom Francisco lagi.

“Sudah ada. Pertengahan Oktober pastor pengganti saya itu sudah berada di sini.”
“Syukurlah! Ada yang menggantikanmu. Situasi akan jadi sulit kalau tidak ada pengganti. Masih sangat kurang imam-misionaris tertahbis di keuskupan kita,” keluh Dom Francisco.

Saya diam saja. Saya akan pergi meninggalkan Humaitá di saat keuskupan ini masih membutuhkan banyak imam dan misionaris.

Pater Yanto Naben SVD

Keuskupan Humaitá dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1979. Luasnya mencapai 109.000 km². Ada delapan paroki ditambah satu wilayah misioner sepanjang sungai Madeira. Paroki yang terjauh berjarak sekitar 600-an km dari Humaitá. Masing-masing paroki memiliki stasi atau komunitas yang berjumlah di atas 40-an stasi.

Hanya ada sedikit imam-misionaris yang berkarya di keuskupan Humaitá. Ada tiga orang imam dari kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) yang bekerja di satu paroki di Humaitá. Ada dua imam dan seorang bruder dari kongregasi Salesian Dom Bosco (SDB) yang menangani satu paroki di Manicoré. Juga ada tiga imam dan seorang bruder dari kongregasi Fransiskan Kapusin (OFMCap). Mereka bekerja di paroki yang lain di Humaitá.

Di samping itu ada enam orang imam diosesan. Dua imam diosesan ini bekerja di paroki terjauh dari keuskupan. Satunya yang baru ditahbis menangani paroki yang punya 50 stasi. Sedangkan tiga imam diosesan lainnya berasal dari keuskupan lain yang diutus untuk membantu karya misioner di keuskupan Humaitá.

Satunya bekerja di katedral Humaitá dan dua lainnya bekerja di salah satu paroki di Manicoré. Itu berarti hanya ada dua imam diosesan yang berasal dari Humaitá ditambah satu imam diosesan yang berasal dari luar Humaitá tetapi ditahbiskan untuk bekerja di Humaitá. Selain para imam dan bruder, ada juga suster-suster dari beberapa kongregasi yang berkarya di keuskupan ini.

Dari kedelapan paroki di keuskupan Humaitá ini, ada satu paroki yang tidak punya pastor paroki yang menetap di sana. Ada seorang imam fransiskan yang setiap dua minggu sekali berkunjung ke sana. Dulu, ada beberapa biarawati dari salah satu kongregasi yang bekerja di sana. Namun setahun silam, dua orang biarawati meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika pulang mengunjungi umat. Sejak saat itu, tidak ada lagi misionaris yang bekerja di sana.

“Memang, keuskupan ini masih sangat membutuhkan misionaris,” komentarku. Dom Francisco hanya mengangkat alisnya dan menganggukkan kepalanya.
“Itulah kenyataannya. Esok kita sharing lagi,” katanya.

Kami pun menyudahi makan malam. Di luar sana hanya terlihat cahaya lampu dari rumah-rumah kaum ribeirinhos atau dari balsa atau feri tambang para penambang (garimpeiro) yang memanfaatkan surutnya air sungai Madeira untuk menambang emas. Si Vovó Ana tetap melaju pelan membawa kami ke Manicoré.

Pukul delapan pagi kapal Vovó Ana tiba di Uruapiara, satu distrik dari Humaitá. Banyak penumpang yang turun di situ. Juga banyak barang muatan yang dibongkar. Dom Fransisco dan saya duduk di anjungan kapal memperhatikan aktivitas di pelabuhan kecil itu. Ada penumpang yang melambaikan tangan ke arah kami. Mereka mengenal Dom Francisco. Dia sudah sering berkunjung ke sana. Kami membalas lambaian tangan umat Allah itu.

Dom Francisco menerima tongkat kegembalaan di keuskupan ini sejak 15 Oktober 2000 ketika ia ditahbiskan menjadi uskup Humaitá. Berarti sudah 18 tahun ia menjadi gembala di Keuskupan Humaitá. Setahun lagi dia akan memasuki masa pensiun. Januari tahun depan dia akan mengajukan pengunduran diri ke Tahta Suci mengingat usianya sudah mendekati 75 tahun. Dia harus menyerahkan estafet kegembalaannya kepada penerusnya.

“Tidak gampang menjadi gembala di Humaitá,” kata Dom Francisco membuka percakapan kami. “Tantangan terbesar adalah kurangnya tenaga imam yang berasal dari keuskupan ini sendiri. Keuskupan ini hampir berusia 40 tahun tetapi baru ada dua imam diosesan yang adalah putra asli Humaitá.”
“Apakah itu karena banyak yang tidak tertarik menjadi imam? Ataukah pastoral panggilan tidak bekerja maksimal?” pancingku.

“Banyak faktor untuk hal ini. Kenyataannya memang sedikit yang tertarik. Di seminari saja hanya ada dua orang yang tengah belajar filsafat dan teologi. Di paroki-paroki dan komunitas-komunitas memang ada banyak umat Katolik tetapi tidak banyak yang betul mau berpartisipasi dalam hidup mengereja. Tanpa itu, panggilan tidak akan bertumbuh,” katanya.

Dia menambahkan, di musim kemarau seperti ini banyak komunitas yang ditinggalkan penghuninya. Para lelaki mengadu nasib di sungai Madeira menjadi penambang emas. Tidak jarang para istri pun ikut suami dan membantu pekerjaan menambang dengan memasak. Waktu mereka habiskan untuk bekerja. Sedikit waktu saja mereka gunakan untuk Tuhan.

“Kunjungan ke komunitas-komunitas di pedalaman sudah sangat sedikit. Di musim kemarau seperti ini banyak yang tidak berada di komunitas saat ada kunjungan pastor. Bagaimana iman bisa bertumbuh kalau mereka lebih sibuk dengan pekerjaan?” kata Dom Francisco lagi.

Kaum ribeirinhos dan umat pedalaman mengandalkan hasil hutan dan hasil tanaman seperti pisang, açaí atau semangka juga tangkapan ikan di sungai dan danau untuk menunjang hidup. Di musim kemarau mereka mengadu nasib di sungai dengan menambang emas. Sebagian dari mereka menambang secara liar alias tanpa izin. Itu terpaksa dilakukan karena perizinan untuk tambang emas begitu berbelit dan menghabiskan dana yang besar.

Untuk membuat satu balsa de garimpo atau feri/rakit tambang saja sudah memakan biaya yang besar. Belum lagi biaya operasional yang tidak sedikit. Makanya setelah dipotong-potong keuntungan dari hasil tambang hanya cukup untuk menunjang pendapatan demi kelangsungan hidup.

Situasi dan kehidupan iman umat juga kurangnya imam misionaris adalah keprihatinan Dom Francisco. Apalagi tidak lama lagi dia akan pensiun. Meskipun demikian, ia tetap yakin bahwa gereja Humaitá akan tetap berdiri kokoh.

“Tuhan ada bersama umat dan terus bekerja dalam kehidupan umat sederhana di sini. Masih ada harapan. Pasti akan muncul misionaris dari rahim Humaitá. Harapan ini tidak akan mati,” katanya.

Harapan itu bagaikan emas yang terkandung di dasar sungai Madeira. Butuh waktu dan kerja keras yang ulet untuk mendulangnya. Dari sekian banyak tanah yang disedot atau bebatuan yang dipecahkan dari dasar sungai Madeira, tetap bisa dikumpulkan butiran-butiran emas. Begitu juga harapan akan kelangsungan hidup umat di Keuskupan Humaitá. Sudah sekian tahun mereka menghidupi imannya di tengah kurangnya imam-misionaris yang menemani ziarah iman mereka.

“Setelah pensiun Tuan akan tinggal di mana,” tanyaku.
“Saya masih memikirkannya. Untuk saat ini saya lebih memilih untuk tinggal di kampung halaman saya di Jerman. Dekat dengan keluarga saya dengan saudara-saudara saya, meskipun sebagian besar dari mereka sudah tua. Tapi kita lihat saja perkembangannya nanti,” kata Dom Franscisco sambil melayangkan pandangan ke pesisir sungai Madeira.

Di luar sana banyak garimpeiro tengah mendulang emas. Rakit-rakit tambang bertebaran di mana-mana. Mereka seperti tidak ingin melewatkan sehari tanpa menambang. Maklum, waktu yang paling pas untuk menambang hanya musim kemarau ini. Selebihnya mereka kembali ke daratan. Menjalani rutinitas sebagai ribeirinhos yang hidup dari hasil hutan, panenan dan tangkapan ikan.

“Beberapa hari ini kita masih akan bertemu di Manicoré. Setelah ini saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi beberapa tempat di Amazon ini. Saya hanya mau ucapkan banyak terima kasih untuk kebersamaan dan kesediaan Dom Francisco menerima saya bekerja di keuskupan ini. Sungguh suatu pengalaman misi yang luar biasa,” kataku.

“Ya, terima kasih juga Padre. Meskipun hanya dua tahun, kamu sudah memberikan pelayanan untuk umat sederhana di sini. Sukses untuk karya misimu di tempat yang baru,” kata Dom Francisco sambil menjabat tanganku dan kemudian memelukku.

Saat itu kapal yang kami tumpangi sudah dekat di Manicoré. Segera kami membereskan rede dan barang bawaan lainnya. Sebentar lagi si Vovó Ana akan merapat di pelabuhan Manicoré. Sementara air sungai Madeira terus mengalir membawa butiran emas yang dikandungnya.